Mohon tunggu...
Maulida Maulaya Hubbah
Maulida Maulaya Hubbah Mohon Tunggu... Penulis - Survive for Future

Mahasiswa Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Implementasi Check and Balance dalam Sistem Trias Politika di Era Reformasi

21 Juni 2020   11:03 Diperbarui: 21 Juni 2020   11:01 2593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perguliran politik, hukum maupun sistem pemerintahan suatu negara tak pernah luput dari sistematik trias politika, diataranya lembag yudikatif, eksekutif dan legislatif. Tiga kelembagaan negara ini diatur secara langsung atau kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar 1945, sebelum amandemen disebut sebagai lembaga tinggi negara, namun paska amendemen UUD 45 disebut sebagai lembaga negara.

Secara umum ketiga lembaga tersebut diatur dalam pasal 2 hinggal pasal 25 UUD 1945.[1] Demi mewujudkan ketiganya menjalankan peran sebagaimana yang diharapkan, tidak adanya penyelewengan apalagi abuse of power maka ketiganya harus bersinergi, menerapkan sistem controlling yang ditujukan mengantisipasi hal tersebut. Maka pengetahuan mengenai teori dan konsep terkait hal tersebut dirasa perlu untuk menyelaraskan kesesuaiannya.  

Lahirnya isu-isu politik yang kian mencekik bahkan mengubur hakikat reformasi, demokrasi semakin panas dibicarakan. Terlebih dilantiknya Puan Maharani dari fraksi PDIP di kursi legislatif, dilantiknya Jokowi-Ma’ruf di kursi eksekutif pula koalisi dari PDIP sebagai partai pengusung, serta pengangkatan ketua MK yang diisukan bermasalah secara personal, menjadi buah bibir disetiap topik perpolitikan, akankah ketiga pemegang kekuasaan tersebut mampu berjalan sesuai tupoksi masing-masing tanpa adanya intervensi, akankah tetap secara teori tiap lembaga mampu menerapkan controlling meski berada dalam satu rumpun partai? Apakah oposisi tak mungkin menjadi koalisi?

Aksi unjuk rasa menyuarakan aspirasi kian turun dijalanan sebagai bentuk ketidak sepakatan dengan kebijakan maupun peraturan yang diberlakukan. Alih-alih jadi pertimbangan, masyarakat menilai para pemangku wewenang tak mendengarkan bahkan acuh mengabaikan.

Dari itulah muncul bagi penulis, mengkaji kembali bagaimana dasain dan dassollen rotasi sistem trias politika dengan konsep check and balance sebagai kajian utamanya. Pertama-tama mari kita kenali apa itu "trias politika". trias politika terbagi menjadi tiga lembaga negara yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Eksekutif diartikan sebagai salah satu cabang pemerintahan yang kekuasaan dan bertanggungjawab untuk menerapkan hukum. Contoh paling umum dalam sebuah cabang eksekutif disebut ketua pemerintahan. Eksekutif dapat merujuk kepada administrasi dalam sistem presidensial atau sebagai pemerintah dalam sistem parlementer.

Sedangkan legislatif secara umum disebut juga sebagai lembaga legislatif, badan legislatif, legislatif atau legislatur yakni badan deliberatif pemerintah dengan kuasa membuat hukum. Legislatif dalam sistem presidensial merupakan cabang pemerintahan yang sama dan bebas dari eksekutif. Sebagai tambahan atas menetapkan hukum, legislatif biasanya juga memiliki kuasa untuk menaikkan perpajak dan menerapkan anggaran serta pengeluaran uang lainnya. Menyangkut Anggaran Pengeluaran Belanja Negara (APBN) negara. Legislatif juga menulis perjanjian dan memutuskan perang.

Dan yudikatif secara umum diartikan sebagai lembaga negara yang berperan sebagai pengawal serta memantau jalannya perundang-undangan atau penegakan hukum di Indonesia, seperti Mahkama Agung, Mahkamah Konstitusi dll.

Agar ketiganya menjalankan peran sebagaimana yang diharapkan, tidak adanya penyelewengan apalagi abuse of power maka ketiganya harus bersinergi, menerapkan sistem controlling yang ditujukan mengantisipasi hal tersebut, mengetahui banyaknya penyelewengan kekuasaan saat ini bukanlah hanya menjadi trend tapi seakan berevolusi menjadi culture yang lumrah terjadi dalam setiap sudut sistematika birokrasi.

Trias Politika dalam paham reformasi. Pembagian atau pemisahan kekuasaan sering di kenal dengan istilah “Trias Politica”. Konsep Trias Politica dikemukakan oleh Montesquieu (Filsuf Preancis - 1748), di mana Trias Politica berasal dari bahasa Yunani “Tri” yang berarti tiga, “As” yang berarti poros/pusat, dan “Politica” yang berarti kekuasaan, yang merupakan salah satu pilar demokrasi. Adapun definisi dari Trias Politica adalah suatu ajaran yang mempunyai anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari 3 (tiga) macam kekuasaan, yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Kekuasaan Legislatif adalah membuat undang-undang, kekuasaan Eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan undang-undang, dan kekuasaan Yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.  Prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.

Menurut pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.

 Pemikiran pelopor trias politika, Charles-Louis de Secondat, Baron de La Brède et de Montesquieu (lahir 18 Januari 1689 – meninggal 10 Februari 1755 pada umur 66 tahun), atau lebih dikenal dengan Montesquieu, adalah pemikir politik Prancis yang hidup pada Era Pencerahan (bahasa Inggris: Enlightenment). Ia terkenal dengan teorinya mengenai pemisahan kekuasaan yang banyak disadur pada diskusi-diskusi mengenai pemerintahan dan diterapkan pada banyak konstitusi di seluruh dunia. Ia memegang peranan penting dalam memopulerkan istilah "feodalisme" dan "Kekaisaran Bizantium".

Konsep Trias Politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan yang sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Artinya bahwa konsep Trias Politica dari Montesquieu yang menawarkan suatu konsep mengenai kehidupan bernegara dengan melakukan pemisahan kekuasaan yang diharapkan akan saling lepas dalam kedudukan yang sederajat, sehingga dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi satu sama lain (check and balaces), selain itu harapannya dapat membatasi kekuasaan agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan yang nantinya akan melahirkan kesewenangwenangan.

 Yang dimaksud pembagian kekuasaan dalam hal ini adalah pembagian kekuasaan secara horizontal, yaitu pembagian kekuasaan yang didasarkan atas sifat tugas yang berbeda-beda jenis dan fungsinya yang menimbulkan berbagai macam lembaga di dalam suatu negara (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif).  Hampir di seluruh negara yang ada di dunia menerapkan konsep Trias Politica dari Montesquieu ini.

Lembaga negara dalam menjalankan kekuasaan-kekuasaan negara perlu dibatasi, agar tidak sewenang-wenang, tidak tumpang tindih kewenangan dan tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu lembaga, maka perlu adanya suatu pembagian atau pemisahan kekuasaan. Hal ini dimaksudkan semata-mata untuk menjamin hak-hak asasi para warganya agar tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penguasa. Hal ini senada dengan ungkapan dari Lord Acton “power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalah-gunakan, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya). Oleh karena itu, kekuasaan harus dibagi-bagi atau dipisah-pisah agar tidak disalahgunakan.

 Pada pokoknya ajaran Trias Politicaisinya tiap pemerintahan negara harus ada 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif, sebagai berikut:

Pertama: Kekuasaan Legislatif (Legislative Power) adalah kekuasaan membuat undang-undang. Kekuasaan untuk membuat undang-undang harus terletah dalam suatu badan khusus untuk itu. Jika penyusunan undang-undang tidak diletakkan pada suatu badan tertentu , maka akan mungkin tiap golongan atau tiap orang mengadakan undang-undang untuk kepentingannya sendiri. Suatu negara yang menamakan diri sebagai negara demokrasi yang peraturan perundangan harus berdasarkan kedaulatan rakyat, maka badan perwakilan rakyat yang harus dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk menyusun undang-undang dan dinamakan “Legislatif”. Legislatif adalah yang terpenting sekali dalam susunan kenegaraan karena undang-undang adalah ibarat tiang yang menegakkan hidup perumahan Negara dan sebagai alat yang menjadi pedoman hidup bagi bermasyarakat dan bernegara.Sebagai badan pembentuk undang-undang, maka Legislatif itu hanyalah berhak untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh melaksanakannya. Untuk menjalankan undang-undang itu haruslah diserahkan kepada suatu badan lain. 

Kedua: Kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang adalah “Eksekutif’’. Kekuasaan Eksekutif (Executive Power) Kekuasaan “Eksekutif” adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang. Kekuasaan melaksanakan undang-undang dipegang oleh Kepala Negara. Kepala Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan segala undang-undang ini. Oleh karena itu, kekuasaan dari kepala Negara dilimpahkan (didelegasikan) kepada pejabat-pejabat pemerintah/Negara yang bersama-sama merupakan suatu badan pelaksana undang-undang (Badan Eksekutif). Badan inilah yang berkewajiban menjalankan kekuasaan Eksekutif.

Ketiga: Kekuasaan Yudikatif atau Kekuasaan Kehakiman (Yudicative Powers) adalah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya. Badan Yudikatif adalah yang berkuasa memutus perkara, menjatuhkan  hukuman terhadap setiap pelanggaran undang-undang yang telah diadakan dan dijalankan. Walaupun pada hakim itu biasanya diangkat oleh Kepala Negara (Eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan yang istimewa dan mempunyai hak tersendiri, karena hakim tidak diperintah oleh Kepala Negara yang mengangkatnya, bahkan hakim adalah badan yang berhak menghukum Kepala Negara, jika Kepala Negara melanggarnya.  

Lantas bagaimana implementasi Check and Balance dalam Sistem Trias Politika di Era Reformasi?

Semenjak memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Negara Indonesia terus berproses dalam rangka mewujudkan kehidupan yang sejahtera (walfare staat). Undang- Undang Dasar 1945 (naskah asli), berganti Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, diubahnya lagi menjadi Undang- Undang Dasar Sementara 1950 hingga saat ini didasarkan Undang- Undang Dasar 1945 yang telah diamandemen  hingga ke- empat) merupakan hasil upaya untuk semakin mendekatkan diri untuk mensejahterakan bangsa, yang pada titik era reformasi cita-cita tersebut berkembang, tak sekedar mensejahterakan namun pula untuk mewujudkan negara yang demokratis.

Di dalam demokrasi dikenal dengan konsep rechtaat (negara hukum), yang diartikan sebagai negara yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan prinsip-prinsip hukum untuk membatasi kekuasaan pemerinta. Menurut Julius Stahl, salah satu unsur dalam konsep rechtaat adalah negara didasarkan kepada t Trias Politica (pemisahan kekuasaan negara atas kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif). Ketika UUD 1945 tidak secar eksplisit mengatakan bahwa doktrin trias politika dianut, tetapi dikarenakan UUD 1945 menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut doktrin tersebut dalam arti “pembagian kekuasaan”.

Tiga pemerintahan pada masa Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati memperlihatkan dominasi lembaga eksekutif dan peningkatan peran lembaga legislatif dan yudikatif. Sidang Umum MPR pada tahun 1999 mengeluarkan TAP untuk mengamandemen pasal 7 UUD 1945 tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden, yang mana dibatasi selama 5 (lima) tahun dan hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan. Hal ini memperlihatkan berfungsinya kembali lembaga legislatif (MPR) dengan memberikan dasar aturan bagi jalannya sebuah pemerintahan, berarti legislatif telah melakukan check and balance agar eksekutif tidak menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki.

 Upaya mengembalikan kekuasaan, kewenangan, peran dan fungsi lembaga legislatif bergrilya saat amandemen UUD45 ke-tiga, dimana mengamanatkan peningkatan kekuasaan DPR dalam pembuatan UU. DPR yang pada masa orde baru hanya memberikan persetujuan terhadap RUU yang diajukan pemerintah, didalam reformasi ini DPR juga berhak mengajukan usul RUU dan dibahas bersama presiden. Bertambahanya peran DPR ini juga dapat dilihat pada tambahan pasal 20 ayat 5 UUD 45 diamana menyastakan bahwa RUU yang sudah disetujui bersama tapi tidak disahkan presiden dalam kurun waktu 30 hari sejak disetui, dianggap sah menjadi UU dan wajib diundangkan.

 Meningkatnya peran DPR berimplikasi pula pada peningkatan peran yudikatif. Salah satu contoh peningkatannya ialah dengan didirikannya Mahkamah Konstitusi (amandemen ke-empat, Agustus 2002). Lembaga ini merupakan salah satu kekuasaan kehakiman di Indonesia yang berwenang mengadili pad tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersisat final and banding untuk menguji UU terhadap UUD. MK juga memiliki peranan memberikan putusan atas pendapat DPR terkait penyelewengan yang dilakukan presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945. Dengan begitu kewenangan check and balances dikembalikan pada lembaga ini.

 Menelisik kepada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam dua kali masa periodenya, begitupun pada masa pemerintahan Jokowi lima tahun silam, tidak ada peraturan yang berubah menyangkut bagaimaan ketiganya bersinergi maupun controlling, begitu pula tidak ada amandemen untuk ke-lima kalinya menyangkut tupoksi antara lembaga ekekutif, lembaga legislatif maupun yudikatif yang diamanatkan oleh UUD 1945 di masa reformasi ini, secara eksplisit telah disampaikan bahwa sistem check and balances tetap terjaga di dalam roda trias politika.

Maka, apabila ditarik kembali kepada latar belakang yang diusung, secara hukum penentuan legislatif, eksekutif maupun yudikatif tidak tergantung kepada dari mana latar belakang mereka, begitupun isu tidak akan terjadinya lagi check and balance sebab berada pada satu rumpun partai politik adalah jangkauan diluar hukum yang diberlakukan di Indonesia.

Namun, teori tak selamanya sesuai saat diejawantahkan dalam lingkup politik, hukum sebagai supremasi kerap dibeli, kongkalikong bisa saja terjadi, media massa berpihak pun bukan lagi hal mustahil, namun kita sebagai generasi tak boleh berhenti mempertahankan reformasi, demokrasi. Kami sebagai penulis memberikan sepenuhnya kepada seluruh audiensi untuk memberikan argumentasi dalam kacamata politik terkait masa pemerintahan saat ini, sebab penulis hanya menyampaikan sebatas materi dilingkup teori.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun