Mohon tunggu...
Maulida Maulaya Hubbah
Maulida Maulaya Hubbah Mohon Tunggu... Penulis - Survive for Future

Mahasiswa Hukum Tata Negara

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Poligami (Politik Agama dalam Urgensi)

19 Maret 2019   22:00 Diperbarui: 19 Maret 2019   22:43 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Eksistensi negara tidak dapat lepas dari adanya roda perpolitikan yang berguling didalamnya. Berlangsungnya negara dapat bergerak secara mekanik dengan bantuan politik, mustahil, suatu negara dapat menjalankan mekanisme kenegaraannya tanpa adanya politik yang mengatur. Maka politik memiliki peran sebagai aktor dalam berdirinya suatu negara.

Pembahasan politik tak pernah usai dikupas dan diperbincangkan, sebab merupakan instrumen yang sangat penting dalam bernegara, oleh karenanya sebagai tiang kokoh dalam bernegara, politik tidak boleh disalahgunakan, salah satu sebab robohnya negara adalah penyalahgunaan politik yang tidak bertuan.

Corak simbiosis negara dan agama kian menjadi persoalan pembangunan ketatanegaraan yang semakin urgen dikalangan masyarakat. paradigma symbiotic khususnya di Indonesia, perlu dikaji dan ditafsir lebih mendalam, ditelaah unsurnya sehingga dapat ditemui batasan-batasan keduanya saat saling bersinergi. Pasalnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah disepakati Founding Fathers bahwa, berdirinya sebagai negara kebangsaan, bukan daulah Islamiah meskipun berpenduduk moyoritas muslim.

Agama menyongsong negara hingga marwah konsolidasinya bertahan gagah, negara membopong agama hingga stabilitasnya berdiri tegak. Inilah hubungan antara agama dan negara yang tidak dapat dikonsumsi mentah-mentah dalam kehidupan bernegara. 

Maraknya permainan politik ditengah-tengah pertahanan negara, menyeret agama sebagai kambing hitam politik kotor (political theatre). Negara dipakaikan baju agama namun terselubung jiwa politik hadir dikalangan masyarakat, menyuarakan paham agama sebagai kedok hendak merubah ideologi negara mengambil peluang demi mendapatkan kekuasaan.

Taktik berpolitik untuk menguasai kekuasaan menggunakan agama sebagai objek yang dijadikan target menciptakan fanatisme akut, dalam paham dan ideologis masyarakat. Saat fanatisme akut telah tercipta disetiap pemikiran masyarakat, terbentuklah tindakan-tindakan keras yang mengingikan segalanya sesuai dengan pemikiran mereka. Disinilah momok radikalisme berkembang.

Imbasnya, perselingkuhan politik dan agama menimbulkan paham radikal yang mampu mengoyak kesatuan serta persatuan yang terjalin sejak kemerdekaan bumi pertiwi. 

Pemahaman holistik agama dipaksa harus diterima dalam setiap dimensi kehidupan masyarakat Indonesia dengan apapun caranya, sejatinya perbedaan suku, ras, adat, budaya bahkan agama bukan kekayaan baru yang dapat dipukul rata keanekaragaman ini dengan satu panutan.

Faham radikalisme dapat menimbulkan kesalahpahaman intepretasi terhadap agama. Sejarahnya Indonesia pernah tercoreng dengan adanya faham radikalisme yang berkembangbiak ditengah-tengah masyarakat, salah satu kasusnya yakni goncangan bom dibeberapa daerah oleh teroris. 

Hal ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi masyarakat Indonesia dan lebih dewasa lagi dalam hal menaggapi gerakan politik ideologi yang ekstream, demi tercapainya cita-cita bangsa yaitu mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia, bersatu, berdaulat adil dan makmur, yang mana tertulis dalam pembukaan UUD 45. 

Meminjam pandangan Agus SB Mayor Jenderal TNI, Deputi Pencegahan Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, bahwa negeri kita hanya membutuhkan invention dan reinvention terkait pemaparan tragedi ini, sehingga memunculkan kembali Sense of Togetherness dan Sense of Purpose negara yang implikasinya terhadap pemulihan harkat martabat bangsa.

Tidak dapat dinafikan paradigma symbiotic merupakan paham yang paling sekufu dengan keberadaan sosiologis Indonesia, namun yang perlu diperhatikan secara intens, sejauh mana intervensi agama dapat masuk kedalam negara, dan sejauh mana negara dapat menyusup kedalam agama. Agama harus tetap dalam porosnya sebagai  Etic of Control suatu negara, dan negara tetap berjalan sesuai rotasinya sebagai Protector dari agama.

Harmonisasi jalinan hubungan akan tercipta saat agama tetap mencintai agama dan politik tetap mencintai politik sesuai tujuan masing-masing, namun keduanya memberikan sinergi dalam posisi berdampingan, tidak berselingkuh sehingga menimbulkan kecenderungan kekuatan pada satu sisi. Maka hal itulah yang perlu ditekankan kepada masyarakat bahwasannya jangan terlalu sempit dalam memahami agama, apalagi kita berlandaskan negara pancasila.(M2h)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun