Malam yang hujan ini, saya kok jadi kepikiran kampung halaman saya yang jauh disana ya. di desa Tonggondoa, Bima, NTB.
Terakhir kami sekeluarga pulang kampung pada Januari 2009. Itu adalah kali keempat saya ke kampung halaman. Tiga kali sebelumnya, tiga-tiganya ketika saya masih kecil, kami masih naik bus, lama perjalanan tiga hari tiga malam. Hahaha saya nggak bisa membayangkannya lagi. Tiga hari tiga malam naik bus, tiga kali menyeberang pulau naik kapal, makan “jatah” dari bus, sampai disana tengah malam buta, duhh rasanya capek banget deh ngebayangin “pulang kampung”. Belum lagi, waktu kecil saya suka mabuk laut dan darat. Komplit deh! Tapi perjalanan keempat ini, Alhamdulillah saya sekeluarga bisa naik pesawat. Fuhh… Itu juga karena kini sudah ada rute penerbangan Denpasar – Bima. Saya juga sudah nggak mabuk laut atau darat, lho… hahaha *bangga*.
Ayah saya adalah anak ke tiga dari sembilan bersaudara. Diantara saudara-saudaranya, hanya ayah saya lah yang pada usia muda merantau ke Jakarta dan bersekolah hingga SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Kemudian dalam usahanya untuk tetap survive di Jakarta, ayah saya bertemu ibu saya yang asli sunda. Jadi ayah saya adalah satu-satunya yang bersekolah hingga tamat, juga satu-satunya yang menikah dengan orang dari luar Bima. Saudaranya yang lain paling tinggi bersekolah hingga SMA, itupun hanya dua orang. Profesi orang di Kampung ini kebanyakan adalah petani bawang dan padi. Kegiatan sehari-hari yang paling sering saya lihat adalah pergi ke sawah. Wah, saya kalau jalan kaki di sawah, makan waktu banget! Selain karena saya pakai sandal, juga karena banyak banget hewan hewan melata di kaki. hahahaha, saya geli! sering kaki saya terperosok kedalam sawah. hehehe.
Setelah tujuh tahun tidak pulang kampung,saya sudah tidak punya bayangan apa-apa lagi tentang bagaimana kampung halaman saya kini. Begitu sampai di Bandara Salahuddin Bima, saya mendadak Nervous, membayangkan bagaimana hidup saya satu minggu kedepan *hehehe lebay, kayak mau disidang korupsi, pake nervous segala…*.
Sampai di rumah umi tua, rumah langsung ramai. Pagi, siang, malam, selaluuu saja tamu (yang datang sih orang-orang yang sama, tapi jumlahnya banyakkk) datang kerumah nenek. Oh iya, Rumah-rumah disana terbuat dari kayu, berbentuk rumah panggung yang di kolongnya digunakan untuk kandang ternak. Lantainya terbuat dari bambu, jadi kalau jalan ada bunyi “krek… krek….”. Tapi untungnyaaaaaaa… Umi dan abu tua sudah tidak memelihara hewan apapun lagi, entah sapi, kambing dan lain lain dibawah rumahnya. Hahahaa.
Ada banyak sekali pengalaman dan cerita yang saya dapatkan disana. Saya punya banyak sekali teman baru. Teman-teman saya ini sebenernya hasil dari sikap SKSD saya. Habisnya saya tidak nyambung kalau ikut kumpul dengan tamu-tamu kakek dan ayah saya. Jadilah saya duduk di tangga kayu, melihat mereka yang main.
[caption id="attachment_198624" align="alignright" width="300" caption="mereka semua sepupu saya! hehehe"][/caption]
Mulanya mereka memandang saya aneh. Bocah-bocah itu berbisik-bisik sambil senyum-senyum sendiri setiap kali saya tanya “cou ngaran nggomi?” atau “siapa nama kamu?”. Sesampainya saya disitu, saya mati-matian belajar bahasa daerah. Saya selalu tanya “ini bahasa Bima nya apa?”. “itu namanya apa?”. Saya risih aja kalau saya ada disana tapi nggak ada teman atau nggak ada yang dilakukan. Jadi dengan ber SKSD, setidaknya saya jadi ngobrol-ngobrol walaupun kadang nggak nyambung. Hehehehe.
Saya nggak sangka kalau saya bisa cepat beradaptasi disana. Khususnya dengan bocah-bocah itu. Hmm, mereka rata-rata baru kelas 1 sampai 3 SD. Mereka semua ini masih saudara, tapi saya kurang hapal bagaimana silsilah dari awalnya, saking banyaknya! Hehehe… Iseng, saya foto mereka. Satu, dua, eh mereka yang malu malu, lama-lama jadi ketagihan difoto. Hmm mungkin senang sekali lihat muka mereka sendiri. Pastinya. Ketika di review di laptop pun, wow mereka sampai tertawa kegirangan. Senang melihatnya. Bahkan jadi banyak orang yang berkumpul di sekelilingku, sambil bertelanjang kaki menggendong anaknya yang kebanyakan tidak dipakaikan baju dan sandal. Hmm…
[caption id="attachment_198777" align="aligncenter" width="199" caption="ini sepupu saya dan anaknya..."][/caption]
Tiba-tiba saya punya ide. Saya bilang pada mereka, “nanti malam kumpul disini ya! Kita belajar bahasa inggris!”. Lagi lagi mereka hanya senyum-senyum dan saling menengok. Diam semua. Lalu saya lanjutkan. “Yang pintar nanti dapat bombo (permen). Sekarang mandi,habis Isya kita kumpul yaa…”. Malamnya, murid saya ada 5 orang. Pelajarannya seputaran yang saya bisa aja (hehehehe…). COntohnya nyanyian a-b-c-d, cara spelling, juga menghafal angka, nama-nama buah dan sayur, dan lain-lain. Saya buat kertas-kertas berisi tulisan seperti “MANGGA – MANGO – meng-go”. Lalu saya minta mereka hafalkan, yang sudah hafal langsung dipraktekkan depan saya, lalu akan dapat permen coklat. Yang lucu sih karena mereka tidak bisa menyebut huruf “E” dalam versi “betul”, atau “bekas”. Mereka hanya bisa menyebut “E” dalam versi “Bebek”.
[caption id="attachment_198625" align="aligncenter" width="300" caption="kiri-kanan: dullah, dae, putri, evi"][/caption]
[caption id="attachment_198631" align="aligncenter" width="300" caption="hampir masuk got. hehehee"][/caption]
Ada anak-anak yang langsung “nempel” dengan saya. Kemana-mana antar saya, ke tolo (sawah) dan mau kalau saya suruh ke warung. Hihihi… Tapi ada juga anak-anak yang tidak mau dekat-dekat saya. Mereka biasanya hanya duduk di bambu yang berfungsi sebagai pagar, yang dipakai untuk memisahkan area rumah dan sawah agar tidak ada hewan liar yang nyelonong masuk area rumah. Biasanya anak-anak itu “ngegosipin” saya dan yang lain dari jauh. Gayanya sih seperti meminta perhatian. Ketika saya dekati, wahhh sulit sekali mengajak mereka ngobrol. Saya bolak balik ditertawakan, karena saya pakai bahasa Indonesia, bukan bahasa daerah. Tapi lama-kelamaan mereka jawab juga ketika ditanya siapa namanya, kelas berapa… pertanyaan saya sih hanya seputar “cou ngaran nggomi?” (siapa nama kamu?), “kelas pila?” (kelas berapa?). Akhirnya, pelan, pelan, pelan, akhirnya, mereka mau juga saya foto. Hahahaha. Susah juga mengarahkan mereka untuk diam dan nggak saling tendang-tendangan. Hehehe ada ada aja…
[caption id="attachment_198632" align="aligncenter" width="300" caption="sulitnya mengarahkan mereka. hahaha"][/caption]
Anak-anak disini jarang pakai alas kaki dan pakaian. Orang tua mereka pun biasa-biasa saja dengan itu. SUdah biasa mungkin, tapi saya nggak tega karena mereka main di tanah yang dilewati juga oleh hewan hewan seperti kambing, kucing, dll. Mereka juga terkadang mandi di kali. Kalau itu, saya hanya bisa menonton dari pinggir. Seru banget!. Tapi tetap, saya was was, lhaa sungainya juga dipakai untuk cuci baju dan buang air *eng ing eng…*. Hilang sudah hasrat saya untuk ikut mandi di kali. Sungguh tidak lucu kalau ketika saya mandi lalu ada sesuatu yang mengambang lewat di sebelah saya. Hahahaha.
[caption id="attachment_198637" align="alignleft" width="200" caption="rrrr... segarnya habis mandi!"][/caption]
Satu minggu sudah saya disana. Ketika saya pulang, semua anak-anak itu kumpul dirumah nenek saya. Ketika saya tanya “wati lao sekola?” (nggak pergi sekolah?), mereka jawab “wati… mada bolos…” (tidak, saya bolos). Hahahahha…. Teman-teman kecil saya ini tidak ada yang sekolah, mereka malah kekeuh ikut ke bandara. Katanya mau lihat pesawat. Tapi untungnya tidak jadi ikut. Mereka semuanya mabuk darat. Apalagi mobil Mitsubishi milik sekolah Muhammadiyah yang mengantar kami selama kami disana sudah penuh dengan keluarga saya, barang-barang, nenek saya dan juga nenek-nenek lain. Penuhhh… hehehehe. Dan ternyata, mereka menyusul kami dengan naik motor bersama orang tuanya. Total 10 motor. Wahh, satu motor bisa ditumpangi ber 4, tanpa helm, dengan kecepatan yang nggak kira kita di jalanan berbukit dan diapit tebing. Waduhhh…
****
Dan… saya kangen kampung halaman ayah saya. Saya kangen desa. Saya kangen ketika handphone saya tidak ada sinyal selama saya disana. Saya kangen ketika orang lain excited dengan apa yang saya lakukan. Saya kangen melihat binar bahagia di mata orang lain ketika saya mengambil gambarnya. Saya kangen bocah-bocah yang terkadang menjengkelkan tapi selalu menemani satu minggu saya disana. Saya kangen… kangen… kangen…
[caption id="attachment_198664" align="aligncenter" width="199" caption="ini saya dan teman saya yang paling akrab, Amar namanya. Kalau sudah nangis dan ngamuk, wuaduh suaranya kencang sambil guling2an di tanah! :D"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H