Dikutip dari Tempo.co, Liestianingsih Dwi Dayanti, seorang akademisi Universitas Airlangga menyebutkan bahwa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi memiliki akar pada diskriminasi berbasis gender dari budaya patriarki yang melemahkan posisi perempuan sebagai subordinat dan objek seksual (objektivifaksi perempuan).
Adanya diskriminasi gender ini dapat dilihat dari banyaknya narasi yang seolah menyalahkan peran perempuan ketika pelecehan terjadi sehingga latar belakang, perilaku, dandanan, gaya busana serta lingkungan pergaulan perempuan seringkali ditelusuri untuk membenarkan tindakan pelecehan seksual.
Salah satunya dapat dilihat dari cuitan akun @GoewanaPurnama ketika menanggapi cerita seorang anak perempuan yang dilarang menggunakan tank top dan hotpants oleh ayahnya semenjak sang ibu meninggal, melalui twitter pada 17 Desember 2021, “Gini saya jelasin dikit tentang lelaki ya. Lelaki itu ibarat Singa, punya naluri dan hasrat besar. Hal itu bisa dikontrol dengan kehidupan, ekonomi, dan pendidikan yang baik tapi tetap tidak bisa menghilangkan naluri dan hasrat tersebut.”
Narasi-narasi serupa sering kita temui ketika kasus pelecehan seksual terjadi, pelaku pelecehan seringkali dianalogikan sebagai pemangsa yang tak kuasa menahan instingnya dan perempuan sebagai buruannya. Menunjukan bahwa selama ini perempuan hanyalah dipandang sebagai objek, bukan makhluk yang memiliki kehendak, kekuatan, dan hasrat yang sama.
Diskriminasi gender ini juga dapat dilihat dari kasus pemerkosaan 12 santriwati oleh seorang guru pondok pesantren di kota Bandung. Pelaku memanfaatkan posisinya untuk membujuk rayu korban demi memenuhi hasrat seksualnya dengan dalih istrinya sudah tidak mampu lagi aktif dalam aktivitas seksual. Dari fenomena ini, dapat terlihat objektivitas perempuan dan juga penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang dimiliki oleh pelaku.
Tidak ada Hukum Pelindung yang Tegas
Ketidaktegasan hukum yang berlaku untuk pelaku kekerasan dan pelecehan seksual turut mendukung reaksi-reaksi menyalahkan korban seperti yang terjadi saat ini. Lemahnya hukum untuk pelaku kekerasan seksual seolah menormalisasikan tindakan tersebut, ketidaktahuan antara mana pelecehan dan mana yang bukan lahir seiringan dengan fenomena ini.
Tindakan cat calling misalnya, memanggil seseorang dengan kalimat tidak pantas atau nada yang menganggu sebenarnya sudah termasuk dalam kategori pelecehan. Namun ketika ditindaklanjuti, seringkali terdapat dalih bahwa hal tersebut hanyalah gurauan semata.
Selain dari itu, ketika ada korban pelecehan yang memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang ia alami, seringkali laporannya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dalam lingkup kampus misalnya seperti yang terjadi pada salah satu mahasiswi UNSRI yang namanya dicoret paksa dari daftar peserta yudisium setelah melaporkan pelecehan yang dialaminya ke pihak kepolisian dan pihak kampus. Beberapa bahkan tidak digubris dan hanya diselesaikan secara kekeluargaan, korban dipaksa untuk memaklumi sikap pelaku demi nama baik kampus.
Kasus lainnya, seorang ibu muda diperkosa oleh empat orang secara bergantian. Ketika ia melaporkan kronologi ini ke pihak polisi, korban malah diancam dan dituntut balik oleh pelaku dengan berdalihkan pelanggaran UU ITE terkait pencemaran nama baik.
Hal-hal inilah yang membuat banyak korban pelecehan seksual ragu untuk menyuarakan pengalamannya dan memilih untuk diam. Mereka merasa tidak ada hukum pelindung yang bisa membuat mereka merasa aman. Disisi lain, keterdiaman tersebut seolah-olah membuka peluang untuk semakin menormalisasi aksi ini.