Mohon tunggu...
Neng Desti
Neng Desti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Communication Student at Padjadjaran University

Hi! Aku Desti seorang mahasiswa yang punya keingintahuan akan banyak hal! Aku senang menulis dan tertarik dengan isu-isu kemanusiaan, khususnya perempuan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pelecehan Marak Terjadi, Mengapa Perempuan Disalahkan Lagi?

27 Desember 2021   13:42 Diperbarui: 28 Desember 2021   05:58 1439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: PEXELS

Dua pekan terakhir seluruh media massa dipenuhi dengan kabar duka. Kasus kekerasan dan pelecehan seksual bertebaran di mana-mana. Kasus Novia, seorang mahasiswi yang diperkosa dan dicekoki pil aborsi secara paksa,  seolah menjadi kotak pandora yang membuka kelakuan-kelakuan bejat oknum lainnya.

Dari isu ini, ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika membaca berita, yaitu reaksi masyarakat yang sangat beraneka ragam. Mayoritas memang turut berduka dan membela korban, namun tidak sedikit juga yang memberikan reaksi yang bertentangan.

Seperti sebuah alur klasik yang sering kita temui, hal pertama yang akan diteliti dari kasus pelecehan adalah pakaian korban. Kedua, gaya hidup korban juga tidak luput dari pantauan orang-orang. Untuk kasus Novia sebagai contohnya, gaya berpacarannya yang dianggap “bebas” menjadi sorotan yang semakin memotivasi orang-orang tanpa empati untuk mencacinya dengan ungkapan “salah sendiri”.

Hal ini semakin didukung dengan pernyataan dari Kabid Humas Polda Jatim Kombes Gatot Repli Handoko yang dikutip dari Jawa Pos Radar Mojokerto (5/12) “Logikanya itu kan suka sama suka. Berarti unsur pemerkosaan ndak terpenuhi.” Dalam dialog yang sama, pihak Polda Jatim membeberkan kronologis aktivitas seksual korban dan pelaku yang seolah menjadi pembenaran akan paksaan berhubungan badan yang dilakukan kepada korban karena sebelumnya mereka sudah sering melakukannya. 

Pernyataan seperti ini merupakan pernyataan yang berbahaya dan cenderung antipati, karena pada dasarnya kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan dalam hubungan apapun. Pelecehan dan kekerasan seksual dikatakan terjadi ketika korban tidak menghendaki.

Selanjutnya, komentar kontroversial akan tragedi yang dialami Novia juga dilontarkan oleh Komunitas Indonesia Tanpa Pacaran seperti yang tertera dalam unggahan instagram akun Indonesia Tanpa Pacaran pada 05 Desember, 2021 di bawah ini.      

Unggahan Komunitas Indonesia Tanpa Pacaran, pacaran dianggap sebagai pemicu pemerkosaan.
Unggahan Komunitas Indonesia Tanpa Pacaran, pacaran dianggap sebagai pemicu pemerkosaan.

Dalam unggahan tersebut, narasi "Hal seperti ini akan selalu terulang selama budaya rusak tersebut (pacaran) masih terus dihalalkan" seolah menyalahkan aktivitas berpacaran yang dilakukan korban sebagai penyebab tragedi ini terjadi. Hal ini menunjukan bahwa ketika terjadi kasus kekerasan seksual masih saja ada segelintir orang yang berfokus kepada latar belakang korban bukan apa yang dialami korban.

Lalu setelah sekian banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terekspos ke media massa muncul satu pertanyaan, “Kok bisa korban tetap disalahkan?”

Diskriminasi Berbasis Gender

Dikutip dari Tempo.co, Liestianingsih Dwi Dayanti, seorang akademisi Universitas Airlangga menyebutkan bahwa kasus pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi memiliki akar pada diskriminasi berbasis gender dari budaya patriarki yang melemahkan posisi perempuan sebagai subordinat dan objek seksual (objektivifaksi perempuan).

Adanya diskriminasi gender ini dapat dilihat dari banyaknya narasi yang seolah menyalahkan peran perempuan ketika pelecehan terjadi sehingga latar belakang, perilaku, dandanan, gaya busana serta lingkungan pergaulan perempuan seringkali ditelusuri untuk membenarkan tindakan pelecehan seksual.

Salah satunya dapat dilihat dari cuitan akun @GoewanaPurnama ketika menanggapi cerita seorang anak perempuan yang dilarang menggunakan tank top dan hotpants oleh ayahnya semenjak sang ibu meninggal, melalui twitter pada 17 Desember 2021, “Gini saya jelasin dikit tentang lelaki ya. Lelaki itu ibarat Singa, punya naluri dan hasrat besar. Hal itu bisa dikontrol dengan kehidupan, ekonomi, dan pendidikan yang baik tapi tetap tidak bisa menghilangkan naluri dan hasrat tersebut.”

Narasi-narasi serupa sering kita temui ketika kasus pelecehan seksual terjadi, pelaku pelecehan seringkali dianalogikan sebagai pemangsa yang tak kuasa menahan instingnya dan perempuan sebagai buruannya. Menunjukan bahwa selama ini perempuan hanyalah dipandang sebagai objek, bukan makhluk yang memiliki kehendak, kekuatan, dan hasrat yang sama.

Diskriminasi gender ini juga dapat dilihat dari kasus pemerkosaan 12 santriwati oleh seorang guru pondok pesantren di kota Bandung. Pelaku memanfaatkan posisinya untuk membujuk rayu korban demi memenuhi hasrat seksualnya dengan dalih istrinya sudah tidak mampu lagi aktif dalam aktivitas seksual. Dari fenomena ini, dapat terlihat objektivitas perempuan dan juga penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang dimiliki oleh pelaku.

Tidak ada Hukum Pelindung yang Tegas

Ketidaktegasan hukum yang berlaku untuk pelaku kekerasan dan pelecehan seksual turut mendukung reaksi-reaksi menyalahkan korban seperti yang terjadi saat ini. Lemahnya hukum untuk pelaku kekerasan seksual seolah menormalisasikan tindakan tersebut, ketidaktahuan antara mana pelecehan dan mana yang bukan lahir seiringan dengan fenomena ini.

Tindakan cat calling misalnya, memanggil seseorang dengan kalimat tidak pantas atau nada yang menganggu sebenarnya sudah termasuk dalam kategori pelecehan. Namun ketika ditindaklanjuti, seringkali terdapat dalih bahwa hal tersebut hanyalah gurauan semata.

Selain dari itu, ketika ada korban pelecehan yang memberanikan diri untuk melaporkan kejadian yang ia alami, seringkali laporannya malah menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dalam lingkup kampus misalnya seperti yang terjadi pada salah satu mahasiswi UNSRI yang namanya dicoret paksa dari daftar peserta yudisium setelah melaporkan pelecehan yang dialaminya ke pihak kepolisian dan pihak kampus. Beberapa bahkan tidak digubris dan hanya diselesaikan secara kekeluargaan, korban dipaksa untuk memaklumi sikap pelaku demi nama baik kampus.

Kasus lainnya, seorang ibu muda diperkosa oleh empat orang secara bergantian. Ketika ia melaporkan kronologi ini ke pihak polisi, korban malah diancam dan dituntut balik oleh pelaku dengan berdalihkan pelanggaran  UU ITE terkait pencemaran nama baik.

Hal-hal inilah yang membuat banyak korban pelecehan seksual ragu untuk menyuarakan pengalamannya dan memilih untuk diam. Mereka merasa tidak ada hukum pelindung yang bisa membuat mereka merasa aman. Disisi lain, keterdiaman tersebut seolah-olah membuka peluang untuk semakin menormalisasi aksi ini.

Melihat masih banyak sekali victim blaming yang dialami korban pelecehan seksual, peran seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan. Lembaga pemerintahan sebagai penyedia hukum dan payung pelindung, serta masyarakat sebagai pendukung dan simpatisan. 

Penting sekali untuk mengambil posisi di pihak korban tiap kali pelecehan seksual terjadi, telusuri kronologi pelecehan bukan telusuri kondisi kehidupan korban!

*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun