Dalam tradisi Jawa, istilah "Jawa" memiliki makna yang melampaui sekadar identitas suku atau geografis. Secara mendalam, "Jawa" merujuk pada kemampuan memahami dengan refleksi mata batin, yang terintegrasi dengan rasionalitas dan seni tiruan (mimesis). Pemahaman ini tidak hanya bersifat logis tetapi juga metaforis, mencerminkan kompleksitas makna yang tidak dapat direduksi menjadi satu konsep tunggal. Dalam tradisi ini, setiap kata atau konsep sering kali bersifat dasanama, yaitu memiliki banyak nama dan makna yang mengandung kekayaan penafsiran.
Konsep dasar Jawa ini berpijak pada dialektika alam semesta sebagai logos. Jagat Gumelar (dunia yang tampak/terbuka) dan Jagat Gumulung (dunia yang tersembunyi/tertutup) saling berinteraksi, menghasilkan Buwono Langgeng sebagai representasi kesadaran abadi. Dalam kosmologi Jawa, dunia terbagi menjadi tiga lapisan besar: Buwono Agung (makrokosmos), Buwono Alit (mikrokosmos), dan Buwono Langgeng (kekekalan yang melampaui ruang dan waktu). Ketiga lapisan ini menggambarkan kesatuan antara individu, masyarakat, dan kosmos dalam siklus kehidupan yang disebut Cakra Manggilingan, siklus waktu yang terus berputar dari lahir, hidup, dan menuju kematian, di mana kematian dipandang sebagai awal dari keabadian.
Di tengah filsafat Jawa ini, muncul simbol "Hanacaraka" sebagai inti dari pandangan kosmologis. Hanacaraka adalah aksara Jawa yang tidak hanya merepresentasikan sistem tulisan, tetapi juga mengandung narasi filosofis tentang harmoni dan dualitas.
Apa yang dimaksud dengan Hanacaraka?
Hanacaraka disebut juga aksara jawa. Â Aksara adalah lambang atau simbol dari suara atau bunyi. Dalam KBBI disebutkan pengertian aksara sebagai sistem tanda grafis yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan sedikit banyaknya mewakili ujaran atau ucapan. Aksara juga disebut sebagai huruf. (Miswanto, 2022)
Aksara Jawa Kuna atau Kawi diyakini sebagai sebagai pendahulu bagi aksara-aksara Nusantara yang lebih modern, seperti aksara Jawa dan aksara Bali. Aksara Kawi tidak serta merta ada begitu saja. Ada mata rantai sejarah yang mengawali perkembangan aksara Kawi. Perkembangan aksara Kawi ini tidak lepas dari bentuknya yang lebih kuno yaitu, aksara Pallawa.
Aksara Pallawa yang mengalami pengubahan bentuk huruf, diperkirakan terjadi pada abad ke-8. Aksara Pallawa itu sendiri merupakan turunan aksara Brahmi dan berasal dari India. Aksara Pallawa ini diyakini juga menjadi induk semua aksara daerah di Asia Tenggara seperti aksara Thai, aksara Batak, dan aksara Burma.
Ragam aksara Pallawa dan Kawi sendiri tidaklah homogen, baik bentuk maupun pengejaannya. Hanya sistem abjadnya saja yang tidak berubah tetap mengikuti aksara Brahmi atau seperti Devangari yang menjadi pendahulunya. Ini yang sebenernya juga menjadi esensi dari aksara itu sendiri, karena aksara adalah 'keabadian' (Monier-Williams, 1899:3)