Lelaki itu berhenti di depan pohon kamboja. Pohon itu telah menjadi simbol desa, tetapi bagi lelaki itu, pohon itu adalah tempat ayahnya meregang nyawa. Ia membuka kotak kayu di tangannya, mengeluarkan sebilah belati kecil yang berukir nama Dirga.
"Dirga," bisiknya lirih. "Aku datang untuk menuntut kebenaran."
Luka yang Menganga
Nyai Sofyan tidak bisa lagi menghindar dari kenyataan. Lelaki itu mengetuk pintu rumahnya pada malam hari, membawa aura yang penuh dengan dendam dan rasa kehilangan. Ketukan pintu itu memecah keheningan seperti pukulan palu yang menghantam hatinya.
Nyai membuka pintu, dan di hadapannya berdiri lelaki asing dengan sorot mata yang tajam. Tanpa berkata banyak, lelaki itu menyerahkan kotak kayu kecil kepadanya.
"Ini untukmu," katanya dengan nada dingin.
Nyai membuka kotak itu, dan napasnya tercekat. Di dalamnya ada bunga mawar merah yang telah layu dan belati kecil dengan ukiran yang sama seperti miliknya. Belati itu adalah milik Dirga, kenangan dari malam yang ia coba lupakan.
"Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar.
"Aku adalah anak Dirga," jawab lelaki itu.
Hati Nyai seperti runtuh. Anak dari Dirga dan Sela, lelaki yang tak pernah ia duga akan kembali, kini berdiri di hadapannya, membawa dendam dan kebenaran yang tak bisa ia tolak.
"Aku hanya ingin tahu kenapa," ujar lelaki itu. "Kenapa kau membunuh ayahku?"