Warung mak Ijah sudah ramai. Menu gorengan adalah yang di tunggu.
Ipul menuangkan kopi panas dari gelas ke piring tatakan, setelah menyeruput sedikit kopi lalu mencomot pisang goreng yang masih mengepul.
"Besok udah pemilu, masih sepi-sepi aja nih." Ipul membuka obrolan.
"Tidak biasa memang, apa karena ada KPK?" Timpal Iwan.
"Ah, bodo amat di jaman sekarang kita butuh ini." Ipul menggesekan jari-jarinya. "Mereka cari kursi, kita yang di bawah juga butuh makan sehari-hari."
Orang di sekitar faham arah obrolan Ipul, tidak lain uang dan sembako dari para calonn pejabat.
"Iya juga sih... kalau mereka sudah jadi pejabat, mana ingat mereka sama kita, jangankan bagi-bagi uang, mobilnya melintas di jalan raya saja kita di usirnya," timpal Iwan kembali.
"Nah... lima tahun sekali kita menikmati uang meraka, selebihnya... mereka sejahtera, kita tetap sengsara, cari kerja susah! BBM naik, semua serba mahal!"
(Sekelumit obrolan rakyat yang tidak di dengar pejabat)
Di dalam momentum perhelatan akbar seperti PILPRES, PILKADA maupun tingkat PILKADES, yang merupakan pesta demokrasi untuk rakyat, masih menyimpan satu kegundahan yaitu adanya politik uang yang lajim di kenal dengan. "Serangan fajar"
Serangan fajar begitu mengakar di masyarakat setiap kali menggelar pesta demokrasi. Mengutif haril survey dari Lembaga Survey Indonesia pada tahun 2019, sebanyak 48 persen masyarakat beranggapan jika politik uang hal yang biasa. Artinya politik uang seakan menjadi budaya yang di anggap sah-sah saja di lakukan.
Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019 tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara itu, 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Jika dilihat dari data ini maka sebenarnya lebih banyak orang yang tidak merubah pilihannya walau telah menerima politik uang.
Serangan fajar merupakan penyakit kronis sosial bagaikan penyakit kanker dalam dunia medis. Penyakit umat yang rumit disembuhkan. Dia mengacaukan tatanan sosial, merusak iklim demokrasi, menjungkir balikkan kebenaran. Disamping itu serangan fajar dalam pemilihan mengabaikan orang potensial dan berintegritas. Serangan fajar merupakan sinyal negatif bagi roda demokrasi. Apalagi jika sampai seperti menjadi budaya pada setiap penyelenggaraan pesta demokrasi.
Beragam bentuk money politik yang di kemas dalam serangan fajar
1 uang
Uang merupakan bentuk serangan fajar yang sering terjadi. Tim ses calon biasanya membagikan amplop berisikan uang kepada pemilih, mulai dari 50 ribu hingga ratusan ribu.
Para pemberi serangan fajar biasanya lebih memilih uang, karena lebih mudah di bawa kemana-mana dan bisa di berikan secara sembunyi-sembunyi. Pemberian uang yang umum hingga tidak terlihat adanya serangan fajar saat pemilihan.
2 Sembako
Para pemilih juga biasanya tiba-tiba mendapatkan sembilan bahan pokok, yang diberikan fihak partai menjelang pemilu.
Di dalam kemasan sembako biasanya terselip kertas atau brosur agar si penerima melihat, mengenali dan memilihnya.
3 Barang Rumah Tangga
Selain uang dan sembako yang sering di gunakan dalam kampanye adalah barang-barang kebutuhan rumah tangga, seperti sabun cuci piring, sabun mandi dll. Dengan berosur atau selebaran identitas para calon.
Serangan fajar yang di anggap wajar bagi masyarakat awam. Kendati demikian tidak sedikit orang yang faham hukum, melakukan hal ini secara diam-diam. Meski banyak himbawan tentang sangsi yang akan menimpa jika tertangkap tangan maupun kamera. Lalu siapa yang harus disalahkan dalam kasus pengkhianatan integritas ini? Masyarakat? Atau elit politik yang seakan tuli dengan semua peraturan yang ada?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H