Dengan senyum yang terus mengembang, kaki tuanya mengayuh sepeda menuju pulang. Pikiran jauh menerawang, tawa canda riang para murid membayang sepanjang jalan hingga tiba di pekarangan rumah mungil miliknya.
Dengan tergoboh setengah berlari seorang wanita datang menghampiri. "Ibu dari mana?" tanyanya seraya menyeka keringat dengan ujung lengan baju.
"Saya memang sudah pikun ya Ti," ucap Bu Martinah sambil terkekeh dan menyandarkan sepeda ontelnya di serambi rumah.
"Maafkan saya Bu, tadi saya tidak melihat Ibu pergi. Jadi tidak sempat mengingatkan," ucap Surti tetangga sebelah rumahnya. Dengan wajah merasa bersalah.
Surti mengekor Bu Martinah masuk ke dalam rumah, lalu membuatkan segelas teh jahe hangat untuk sang guru. Puluhan tahun lalu Surti adalah salah satu muridnya yang kini tinggal bersebelahan rumah setelah menikah dengan laki-laki satu kampung dengannya.
"Diminum wedhangnya Bu.!" Senyum tipis di wajah yang penuh dengan keriput. Tatap mata yang dulu penuh semangat kini mulai meredup.
"Sekarang aku menjadi orang tua yang sudah tidak berguna lagi," keluhnya seraya mengusap mata yang mulai basah.
"Bu... Tio, Adam dan Nur ... pasti suka belajar bersama Ibu di rumah ini, sambil menemani Ibu." Surti berusaha menghibur, seraya menggengam lengan kurus yang telah banyak mencetak generasi bangsa. Lengan yang tak pernah merasa lelah. Pengabdian yang terpaksa harus terhenti karena keadaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H