Rembulan masih bersinar terang. Serupa enggan meninggalkan tahtanya. Meski, kokok ayam telah memeberikan isyarat jika pagi akan mengawal sang raja siang yang hendak berkuasa.
Martinah, berjalan dengan membawa rasa kantuk yang masih bergelayut manja pada kelopak mata. Sesekali menguap. Menuju sumur yang berada tidak jauh dari rumahnya. Sumur warga yang biasa di gunakan bersama dengan para tetangga.
Denyit suara ponpa air dragon di gejot oleh tangan kurus yang tidak pernah terhias cincin kawin. Memberi aura semangat di seperempat malam menjelang subuh.
Air ia basuhkan keseluruh wajah hingga menyerap ke pori-pori. lalu di tuntaskan dengan membasuh kedua kaki. Ia kembali ke rumah sederhananya. Dalam remang kamar, tubuh kecil itu kini sudah terbalut mukena yang sudah usang. Sajadah tipis pun terbentang.
Bait-bait doa terpanjat untuk orang-orang tercinta, akhir dari pada doa adalah untuk murid-murid yang selalu memberikan nyawa dalam hidupnya.
Kesunyian menjadi sahabat sejati Martinah di rumah mungilnya. Namun, semua tak membuatnya lanatas hidup dalam kesepian. Burung gereja yang menyapa dengan gerakan lincah, tatkala ia membuka jendela. Secangkir teh hangat selepas ia merapihkan rumah. Sudah cukup membuatnya tersenyum menyambut hari.
Dari kejauhan terlihat gedung sekolah sederhana. Jarak 3 Kilo Meter bukalah jarak yang dekat untuk wanita seusianya. Kaki tua bersepatu pantovel warna hitam itu terus menggayuh pedal sepeda ontel miliknya, meski tak selincah dulu.
Setelah menyandarkan sepeda di sisi gedung sekolah, tas usang bertali satu bertahta di bahu renta. Seyum tersungging saat melewati beberapa murid yang menatapnya heran.
"Kenapa Bu Martinah kesekolah?" Tanya salah satu murid terhadap temannya. Yang lain hanya mengangkat bahu tanda tak tahu.
"Bu, Syifa... di depan ada Bu Martinah!" Seru Mia, salah satu siswa yang pernah menjadi siswa bimbingan sang guru.
"Iyakah?" jawab Bu Syifa. Tanpa bertanya lagi ibu guru itu langsung bergegas menyambut Bu Martinah, yang sedang melenggang di koridor sekolah.