Tak ada kata terucap dari mulutku, kedua mataku lantas berembun. Tubuhku gemetar mendengar berita itu. tanpa menghiraukan tetanggaku yang masih terpaku di depan pintu, aku langsung berlari menuju sekolah Rianti yang berjarak sekitar 2 kilo meter dari rumahku.
Dengan linangan air mata aku terus berlari tak kupedulikan suara yang berteriak memanggil namaku, aku terus berlari.
Tubuhku terpental satu unit sepeda motor menabrak tubuhku yang mulai lelah. Entah siapa yang salah yang pasti aku tidak merasakan sakit sedikit pun.
Aku lantas berdiri dan kembali berlari hingga tiba di sekolah putriku. Suasana di sana sudah cukup ramai. Semua mempertanyakan keadaan putra dan puterinya. Cukup lama aku berada di sekolah, kucari nama Rianti diantara daftar nama yang mejadi korban. Kenapa tidak ada nama Rianti? Di mana anakku?
Sampai salah seorang guru memebritahukan jika sebagian siswa dan siswi telah di kembalikan kerumahnya masing-masing. Karena hari sudah menjelang larut malam.
Aku kembali berjalan dan berlari, menerobos gelapnya malam. Tidak lagi aku rasakan lelah. Seperti ada kekuatan gaib yang membantuku untuk terus berlari sampai di depan gang rumahku.
"Bendera kuning? Rianti? Air mataku tumpah tak tertahankan seraya beralari menerobos kerumunan orang di depan rumahku.
Tiba di ruang dalam rumah. Aku melihat Rianti sedangg menagis, tubuhnya berguncang memeluk jasad yang terbujur kaku yang tertutup kain batik.
Ya... Allah putriku selamat, hanya kepala yang terbalut perban dan satu kakinya terpasang gyipsum. Aku menghampirinya. "Rianti, kamu selamat, Nak?" ucapku. Rianti seakan tidak melihat keberadaanku. Ia terus menangis dan berteriak memanggilku.
"Ibu.... Ibu.... jangan tinggalin Rianti Bu..." suara Rianti begitu pilu menyayat kalbu. Aku terdiam, terpaku. Jasadku telah terbujur kaku dalam pelukan putri kesayanganku.