Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sapu Tangan Usang

24 April 2024   14:54 Diperbarui: 24 April 2024   15:02 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar Bing Image Kreator digital Ai

Sapu Tangan Usang

 

Setiap anak tidak pernah bisa memilih di lahirkan oleh rahim siapa.

Begitu juga denganku. Hingga aku memohon jangan pernah mencerca seorang anak karena tabiat kedua orang tuanya.

Memiliki ayah yang memilih hidup dalam kubangan dosa hingga akhir khayat, jelas bukan mauku. Memiliki ibu yang rela mengakhiri hidup karena lilitan hutang, pun bukan mimpiku.

Kupeluk erat lengan Nenek yang selama ini membesarkanku. Tangisku terisak air mata membasahi kain lusuh yang ia kenakan. Pedih, perih, atas semua cercaan yang di lontarkan tetanggaku.

"Kenapa?" tanyanya lembut.

"Nek... ayo kita pindah dari tempat ini," ucapku di tengah isak tangis. Pinta seorang cucu yang belum cukup dewasa untuk mengerti jika semua akan menjadi beban wanita setengah abad yang terlihat lelah menghadapi permasalahan hidup.

Yang aku tahu hanyalah. Aku ingin hidup di mana semua orang tidak mengenal kami. Tidak tahu jika nenek memiliki anak yang menanggung beban hutang hingga memilih untuk bunuh diri. Atau menantunya yang di kenal banyak orang dengan sebutan bajingan!

"Ya... kita akan pindah,' ujarnya.

Aku menyeka air mata. "Benarkah?" tanyaku.

Nenek mengangguk dan meraih tubuhku dalam pelukan lembutnya.

Sumber Gambar Bing Image Kreator digital Ai
Sumber Gambar Bing Image Kreator digital Ai

*****

Hari ini usiaku genap 17 tahun. Usia yang diidamkan para gadis remaja. Tapi tidak untukku. Hidupku tidak seberuntung mereka yang mampu tertawa dalam lingkaran persahabatan, merasakan asam manisnya cinta, atau jalan- jalan mencari makanan kesukaan mau pun sekedar menyalurkan hobi. Di usiaku saat ini, aku hanya berfikir, apa yang aku bisa, apa yang aku miliki dan apa yang akan aku lakukan.

Kuseka air mata yang mengalir. wajah tua nenek yang masih lincah, membuat aneka makanan untuk kubawa dan di titipkan ke warung-warung saat aku berangkat sekolah nanti.

Di tempat kami yang baru tidaklah lebih baik dari yang dulu. Nenek telah menjual sepetak tanah yang ia miliki. Uang hasil penjualan hanya bisa untuk membeli rumah dengan atap yang sangat panas jika siang hari dan penuh dengan bocor jika musim penghujan datang. Egoku untuk mendapatkan tempat yang lebih tenang. Justru membuat wanita tua di hadapanku ini menjadi lebih tidak tenang dalam menjalani hidup, baik siang maupun malam.

Hati kecilku bertekad untuk merubah keadaan ini. Kecerdasan dalam memaknai hidup, mungkin hanya itu yang aku miliki dan kuanggap sebagai keberuntungan dalam hidupku.

***

Mentari siang ini menunjukan keangkuhannya. Sinar teriknya mampu membuat tubuhku penuh peluh, namun hal itu tidak membuat bibirku mengeluarkan keluh.

"Berapa per-jamnya, Pak. Berikut print out?" tanyaku kepada penjaga warnet yang kulewati sepulang sekolah.

"5000, Neng, kalau sama print out tambah 2000," jawab bapak itu ramah. Lalu memberikan nomor komputer yang kososng.

Aku segera berselancar di dunia internet. mencari situs beasiswa dalam dan luar Negeri. Memilih bidang yang cocok denganku. Setelah kudapatkan segera kucoppy paste sebelum batas waktu melebihi 1 jam. Karena hanya uang receh yang aku punya.

"Ini bisa di baca?" tanya Bapak yang sama. Dengan tatapan menatap layar komputer. PDF dengan multyple per sheet mencapai 6.

"Biar hemat, Pak" jawabku malu-malu.

"Multyple 2 saja ya, beasiswa, kan? Tapi janji harus tembus salah satunya," aku mengangguk dengan ekspresi bahagia, si Bapak tersenyum melihat eksprsiku.

"Berapa semuanya, pak?"

"7000, Neng," kusodorkan beberapa uang lembaran 1000an dan receh 500an.

"Hati-hati kehujanan, nanti luntur. kamu pulang naik apa?" tanya si bapak saat aku sudah melangkah keluar.

"Lari, Pak!" seruku serayabberlari keluar warnet menmbus gerimis.

***

Sejak saat itu, secara diam-diam aku selalu mempelajari setiap persyaratan beasiswa. Aku tidak ingin nenek tahu. Setidaknya jika gagal aku tidak ingin nenek ikut bersedih.

Sumbaer gambar Konten Kreator digital Ai
Sumbaer gambar Konten Kreator digital Ai

Hujan baru saja reda menyisakan gerimis kecil di luar sana. Tetesan bocor dari atap rumah yang jatuh ke dalam ember. Letaknya tidak jauh dari tempat nenek tertidur. Suara itu menjadi penyemangat tersendiri, bahwa hidup bukan untuk berpangku tangan apa lagi mengemis atau meminta-minta. Bismillah.

Kulihat nenek sedang mengecek bahan makanan yang masih tersisa. Agar dapat dimanfaatkan untuk membuat beberapa makanan tanpa harus berbelanja banyak.

"Nek," ucapku lirih. Ku tuntun nenek menuju bangku kayu yang terletak di sudut dapur. Aku berimpuh di pangkuannya.

Seperti biasa air mataku selalu membasahi kain di pangkuannya.

"Ada apa?" tanyanya lembut seraya mengusap kepalaku yang masih kurebahkan di pangkuannya.

Aku merubah posisiku, duduk di lantai dengan memeluk kedua lututnya. Kuberikan amplop tebal berwarna putih. Meski ia tidak bisa membaca.

"Apa ini?" tanyanya. Aku menundukkan kepala, lagi-lagi air mataku terus berurai, aku tak kuasa menatap wajahnya. Tenggorokanku tercekat menahan segala rasa dalam dada. Hijabku sudah lusuh sebeb sejak tadi kujadikan penyeka air mata.

"Beasiswa," jawabku lirih. Tenggorokanku benar-benar terasa sakit saat ini, seperti menelan sebongkah batu besar. Bagaimana tidak, aku yang terkenal sebagai anak orang 'miskin' anak orang 'tidak benar' lulus dalam list beasiswa Universitas ternama. Sesuatu yang mustahil, tapi tidak untuk kuasaNya.

Dalam isak tangis. Nenek terus menciumiku. Mengucap syukur tak terkira ata semua kuasaNya. Saat ini justru aku yang di landa kebingungan. Apakah aku harus meninggalkannya sendirian di sini? Di rumah yang atapnya penuh dengan lubang.

"Berangkat, Nak..." ucap nenek setelah melihat keraguan dalam mataku. Ia berjalan menuju tempat tidurnya. Mengeluarkan sebuah lipatan kecil yang terselap diantara tumpukan baju miliknya.

"Nak... Nenek hanya punya ini, gunakanlah untuk kebutuhanmu," ucapnya seraya membuka lipatan saputangan yang sudah usang, ada beberapa lembar uang yang terlipat sangat rapih. Aku menatapnya nanar.... Perih benar ya Nek.... Untuk dapat merubah keadaan.

"Tapi... Nenek sendirian," ucapku lirih seraya menggenggam erat tangannya. Nenek melepaskan genggamannya lalu menunjuk ke atas.

"Ada Allah yang selalu membersamai Nenek,' ujarnya penuh senyum. "Ya... Allah egoiskah aku?" ucapku dalam hati. Tak kubayangkan Nenek yang berjalan sediri mengantar makanan-makanan dari warung ke warung. Tangisku pecah... keraguan melanda tapi satu tekad untuk dapat merubah keadaan membuat aku menjadi seorang cucu yang egois?

Kupeluk Nenek. Kukecup keningnya sangat lama seraya berdoa, semoga ini bukanlah sentuhan terakhirku di usia senjanya, semoga 4 tahun yang akan datang aku masih bisa menyentuhnya dengan senyum dan kebahagian di ujung usianya. Semoga...dan... semoga.

Dengan derai air mata yang tak bisa kuhentikan sejak kedatangan surat pemeberitahuan beasiwa itu. Kurapihkan helai demi helai baju yang akan kubawa di temani Nenek yang duduk di sudut kasur lantaiku. Tatapan penuh harap. Degup jantungnya, sangat aku rasakan, hanya saja aku tak melihat tetesan air mata dari kelopak rentanya. Demi menguatkan aku ia berusaha untuk kuat.

Mungkin aku tak seberuntung mereka, tapi mereka tidak sekuat aku!

Universitas Indonesia... aku datang!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun