"Kalau Mahesa tidak mendapatkan jodoh yang tepat, yang tidak dapat membahagiakan, apa itu tidak sia-sia namanya?"
Naila mangung-mangguk. "Iya, Bu, tentu saja.'
"Nah, menurutmu, apakah kamu pantas menjadi istri Mahesa?" ujarku sambil tersenyum puas.
Naila pasti akan berjuang, mati-matian untuk mendapatkan Mahesa dan simpatikku.
Tapi.... Apa yang kudengar? Jawabannya membuat aku ternganga.
"Saya rasa, saya kurang tepat untuk Mahesa," jawab Naila dengan nada seringan kapas.
"Oya? Mengapa?" tanyaku tak dapat kusembunyiakan rasa kaget, diam-diam aku mengelus dada.
Naila tertawa perlahan. "Seperti kata Ibu, Mahesa sangat hebat, sedangkan saya? Saya merasa kalau saya buka siapa-siapa dan gak ada apa-apanya, jadi sayang sekali kalau, Mahesa memiliki istri seperti saya."
Kuhentikan kegiatanku, kuperhatikan gadis di hadapanku baik-baik, aku berharap menemukan wajah kalah perang.
Ternyata tidak, gadis sederhana ini, tetap tenang dengan senyumnya yang tak pernah menghilang.
"Loh... lalu untuk apa kamu datang kesisni, kalau bukan berharap menjadi istrinya Mahesa?"