"Baru satu tahun, bu," jawab Naila kalem dengan senyumnya.
Aku mengangguk. "Satu tahun? Wah! Itu belum cukup untuk saling mengenal, apa lagi sepakat untuk menjadi suami istri. Soal mencari pasangan hidup ada banyak sekali yang harus di pertimbangkan... ya... seperti, bebet, bibit, bobot, jadi jangan samapai salah pilih, iya, kan?" tuturku mantap, sambil berpura-pura sibuk dengan menata piring-piring.
"Memang betul, Bu... kata orang-orang, jangan seperti membeli kucing dalam karung," jawab Naila ringan.
Aku terkejut, mendengar nada suara itu. Rasanya terlalu ringan untuk seorang gadis yang sedang menghadapi benteng calon mertua.
"Kamu siap menjadi istri Mahesa?"
"Saya sayang dengan, Mahesa," Hmmm... aku rasa itu bukan jawaban.
"Tentu saja, siapa yang yang tidak sayang dengan laki-laki seperti Mahesa, baik, pintar, ganteng dan mapan lagi," ujarku sedikit gemes.
"Ya... Ibu juga tentunya, menginginkan calon istri Mahesa, seistimewa Mahesa, kan?"
Aku hampir terlonjak. Gadis cerdas! Dia membuka jalanku untuk bicara ke inti permasalahan.
"Tentu saja, Naila... susah payah Ibu membesarkannya sampai menjadi orang yang berhasil dan Ibu tidak ingin semua yang Ibu lakukan menjadi sia-sia."
"Sia-sia?" tanyanya heran.