Meskipun Mahesa memaparkan sekian prestasi Naila, dalam menjalani dan menyikapi hidup, Hal itu tidak membuat rasa kecewaku berkurang.
Bagiku, wanita ini tidak cocok untuk laki-laki sesempurna Mahesa.
"Itulah, Naila, Bu, mengapa? Mengecewakan?" tanya Mahesa sedikit kesal, ketika kami ada kesempatan bicara berdua.
"Apa hubungan kalian sudah benar-benar serius? Sudah mantap untuk menjadikannya istri?" tanyaku gusar.
Mahesa menatapku lama. "Ibu, belum benar-benar mengenalnya, yakinlah jika Naila yang terbaik, dia begitu mengerti aku, aku menyayanginya dan bangga mencintai dia."
Aku terdiam, menatap balik Mahesa denga perasaan heran, dengan ucapan yang keluar dari mulutnya. "Kamu bangga mencintai itik kecil itu?"
Kini giliran Mahesa yang terbelalak. "Itik kecil? Ibu...," Mahesa tidak meneruskan kata-katanya, dia menatapku dengan mata membulat lalu pergi meninggalkanku.
Ya Tuhan... Mahesa, apa yang kamu lakukan, ibu tidak minta materi yang berlimpah, ibu hanya minta kebahagianmu untuk mecari pendamping hidup yang sepadan dan yang tepat untukmu.... Salahkah?
Aku melangkahkan kaki ke dapur untuk membuat minuman, karena sejak kedatangan Mahesa dan teman wanitanya, aku langsung di sibukkan dengan perdebatan.
Tak kusangka itik kecil itu berani mendatangiku, dan saat inilah di mana hanya ada aku dan itik kecil ini di dapur, aku bisa mulai mendepaknya dari kehidupan Mahesa.
"Sebenarnya kamu sudah berapa lama sih, kenal sama Mahesa?" tanyaku membuka percakapan.