Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Lukisan di Rumah Tua

14 April 2024   14:03 Diperbarui: 14 April 2024   14:23 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Bing Image Kreator Digital AiI

Akara mentari senja memancarkan rona jingga di ufuk barat. Satu persatu daun yang mulai menguning berjatuhan tertiup angin.

Patahan ranting yang terpijak kaki berspatu flat shoes milik seorang gadis. Memecah kesunyian jalan setapak menuju rumah tua ujung jalan.

Rumah yang tidak kecil untuk di huni oleh dua orang wanita beda usia. Satu minggu sudah Tania dan Ibundanya pindah kerumah ini setelah enam bulan kepergian sang Ayah untuk selama-lamanya.

Ponsel Tania berdering sebelum ia tiba di teras depan rumah. "Halo Bund..." sapa gadis cantik dengan rambut terurai sebahu menjawab telepohenya.

"Sayang, sudah pulangkah?" suara lembut sang bunda di ujung telephone.

"Sudah Bund, baru aja. Bunda di mana?"

"Bunda sedang di rumah tante Rima, Nak... sepertinya tidak bisa pulang hujan deras sekali di sini. Kamu tidak apa di rumah sendiri?"

"Tapi... masa aku sendirian sih," jawabnya seraya melihat sekeliling teras.

"Kamu sudah mahasiswi loh! Sudah besar, besok pagi-pagi sekali bunda pulang."

Tania menutup sambungan telphone dengan tarikan nafas dalam. Lalu membuka pintu dengan kunci yang selalu ia bawa di dalam tasnya.

Lantai yang dingin langsung menyergap begitu Tania memasuki ruang tamu dengan orenamen kalsik tua, beberapa jendela besar terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tepat berada di belakang set kursi dengan kayu dan warna senada. Ruangan besar tanpa skat hanya ada empat pilar besar penyangga sunroof tengah ruangan.

Tania langsung menuju kamar pribadinya setelah mengunci kembali pintu depan. Rasa lelah membuat mata indah dengan bulu mata lentik itu terserang kantuk, ia pun terlelap hingga malam menyapa.

Suara benda jatuh mengejutkan tidurnya. "Suara apa itu?" gumamnya seraya beringsut dari tempat tidur.

Sudut mata mencari asal suara di tengah gelap, hanya remang sinar rembulan yang menerobos masuk lewat celah sunroof ruang tengah.

Tania menyalahkan saklar listrik agar penglihatan lebih maksimal. Tampak sebuah lukisan tergeletak di lantai.

"Lukisan ini, kenapa jatuh?" gumamnya sambil berusaha menempatkan lukisan ke tempat semula. Ia memandang lukisan di tangannya sejenak. "Apa bagusnya sih lukisan usang ini, kenapa bunda tidak membuangnya saja dan ganti dengan yang lebih kekinian," gumamnya kembali. Ia hendak kembali ke kamar setelah memastikan jika lukisan itu sudah aman di tempatnya.

Baru beberapa langkah, suara jatuh kembali terdengar, reflek kepala Tania menoleh kebelakang. Lukisan itu kembali terjatuh.

Ternyata paku gantungan yang sudah tidak lagi kokoh. Dengan menenteng lukisan tersebut Tania menyusuri lorong rumah yang minim cahaya hanya ada beberapa lampu dinding yang menepel di pada tembok, "Susah loh cari rumah yang besar dengan harga yang murah seperti ini," ucap Bunda Tania sewaktu ia protes dengan rumah yang di beli bundanya.

Sumber gambar Bing Image Kreator Digital AiI
Sumber gambar Bing Image Kreator Digital AiI

"Huh! Hanya karena besar dan murah, tapi sepi penghuni seperti ini," gerutu Tania, setelah menyimpan lukisan dalam gudang. Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Tania meremang. Tangan mungilnya mengusap tengkuk yang tiba-tiba terasa dingin.

Tania berusaha memejamkan mata, membuang perasaan yang bermain-main dalam benaknya. Namun selalu gagal, rasa gelisah semakin ia rasakan.

Sayup terdengar isak tangis, entah dari arah mana. Tania bangun dari tempat tidurnya, mencoba mempertajam pendengaran.

Ia kembali melangkah keluar kamar mencoba mencari asal suara, langkah pelan kaki jenjang menuju taman kecil samping rumah, temaram lampu taman menyulitkan ia melihat sekelilingnya. Dua lampu taman yang mati dan belum sempat bunda ganti menambah gelap suasana.

Rasa takut itu tiba-tiba lenyap berganti dengan energi kuat yang membawa langkah gadis itu menuju bangku besi bercat putih. Ia melihat sosok yang sedang duduk sendiri di bawah bayangan rembulan yang bersinar.

"Hai.... Kamu siapa? Kenapa malam-malam ada di sini?" tanya Tania menghampiri gadis kecil dengan gaun berwarna putih kusam kecokelatan.

Tidak ada jawaban, desiran angin malam membelai rambut keduanya. Tania duduk di sisi gadis yang masih menundukan kepalanya. Rambut panjang tergerai menutupi wajah.

"Dik... siapa nama kamu?" Tanya tania pelan.

"Clara," jawabnya sangat pelan nyaris berbisik.

"Clara. Di mana rumah kamu?"

Gadis kecil itu hanya menggelengkan kepala. Tania tidak faham dengan jawaban itu. Tania terus memperhatikan sosok mungil di sampingnya.

"Di mana tempat tinggal kamu?"

"Di sini," jawabnya singkat.

"Di sini?" Tania mengulang ucapan gadis yang masih duduk tanpa bergeser sedikitpun.

"Ya... Kaka sudah membuang rumahku," Tania semakin bingung di buatnya. Angin malam yang semula di rasa dingin tiba-tiba berganti dengan hawa panas yang menyergap hingga ke wajah.

Sumber gambar Bing Image Kreator digital Ai
Sumber gambar Bing Image Kreator digital Ai

Gadis itu menganggkat sedikit kepalanya dan menoleh ke arah Tania. Wajah pucat itu seperti tidak asing bagi Tania, tapi di mana ia pernah bertemu?

Lolongan suara anjing liar terdengar. Tangan kiri Tania meraba tengkuk, bulu kuduknya berdiri sementara tangan kanan meyapu wajah, seraya mencoba megingat bias wajah di hadapannya.

Tania menatap dalam sosok yang semakin jelas penampakannya, wajahnya pucat, garis alis kecil dan tegas, hidung mancung. Rambut pirang lurus tergerai, tatapan mata yang kosong dan gaun putih lusuh dan panjang menutupi seluruh tubuh gadis kecil itu hingga tidak tampak kedua kakinya. Hanya untaian gaun hingga mencapai rumput taman.

"Sebaiknya kamu ikut aku ke dalam, tidak baik udara malam di luar rumah," ucap Tania.

Gadis kecil usia sekitar 12 tahun itu menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa berdiri," ucapnya pelan.

"Kenapa?"

Tanpa bicara gadis itu menyibakkan gaun yang ia kenakan. Kedua tangan Tania menutup mulut ia terkejut melihat gadis bernama Clara itu hanya memiliki satu kaki.

"Clara! Apa yang sudah terjadi denganmu?" seru Tania.

"Puluhan tahun yang lalu, aku dan ibuku tinggal di rumah ini. Setelah Ayah meninggalkanku dan ibu entah kemana. Suatu hari beberapa orang bertopeng masuk kerumah kami, mereka menculik ibuku, dan membunuhku, mereka memendam jasadku di sana," ucap gadis berambut pirang itu seraya menunjuk ke arah belakang rumah.

Mulut Tania terasa kelu. "Jadiii....kamuuu..." ucap Tania terbata, tiba-tiba tubuhnya bagaikan tak bertulang, pandangannya kabur, ia tertunduk lemas di sandaran bangku taman.

Lama Tania tidak sadarkan diri, beberapa tangkai bunga bergoyang di terpa angin malam menghantarkan embun yang mulai menjelma dengan rasa dingin menusuk tulang.

Sedikit demi sedikit kelopak mata Tania terbuka, menatap rembulan denga lingkar penuh tepat di atas kepalanya. Lama ia terdiam mencoba mengingat apa yang telah terjadi. "Clara? Di mana anak itu," gumamnya seraya berdiri dan berusaha mencari keberadaan gadis yang tadi bersamanya.

Pandangannya tertuju ke arah taman belakang rumah. Waktu masih dini hari, tanpa rasa takut Tania melangkah ke arah tempat di mana Calar menunjuk tadi.

Suasana belakang rumah sedikit lebih gelap, namun dengan jelas Tania kembali melihat sosok Clara berdiri di salah satu sudut halaman persis di samping tembok sumur tua.

Tania berlari dan berteriak, "Calara!" Tania menoleh kenan dan kekiri mencari keberadaan sosok yang baruu saja ia lihat. "Kemana dia" gumamnya.

Tania melipat lengan telapak tangan mengosok-gosok kedua bahunya. Udara semakin dingin, gundukan tanah yang sudah di padati rumput liar menarik perhatiannya. Tadi Clara berdiri tepat di sini. Ia berjongkok mencabut salah satu rumput, "Tidak keras, tanahnya cukup gembur."

Ia berlari ke arah gudang yang terpisah dari rumah utama, ekor mata menangkap sebuah scup yang bersandar di dinding gudang. Halaman belakang memang nyaris tidak pernah tersentuh. Mungkin bunda belum sempat mengingat kepindahan mereka baru saja satu minggu.

Lagi-lagi seperti ada kekuatan yang merasuk kedalam tubuh Tania dengan cekatan ia menggali gundukan tanah itu dengan scup di tangannya.

Sumber gambar Bing Image Kreator Digital Ai
Sumber gambar Bing Image Kreator Digital Ai

Di bawah langit betaburan bintang sementara rembulan mulai bersembunyi di balik awan Di antara daun yang begesekan di terpa angin menjelang subuh sesekali gadis tersebut mengusap keringat yang menetes dari keningnya. Hingga satu persatu belulang bermunculan dari dalam tanah. Nafasnya memburu, debar jantung dalam dada semakin berdetak dengan kencang dan tidak beraturan.

Wajah pucat seorang gadis kecil bergaun putih terus membayang sepanjang penggalian tanah yang Tania lakukan.

Rasa lelah mulai mendera, Tania membanting secup di tangannya. Dengan kasar Tania menghapus air mata yang mengalir di pipi yang sudah kotor keran percikan tanah. Ia bersandar pada dinding sumur tua yang berlumut.

Ia berlari ke dalam rumah meninggalkan galian yang sejak tadi ia kerjakan, setelah mencuci tangan duduk di sofa tanpa menyalahkan lampu. Hingga ia tertidur dalam lelahnya malam yang ia lalui.

"Tania!... kenapa tidur disini? Kamu kenapa, Nak? Kenapa badanmu kotor begini?" ucap bunda Tania yang baru saja tiba di rumah.

Tania terbangun. "Bund... kita harus pindah dari rumah ini," ucap Tania tiba-tiba.

"Tadi malam kau bertemu dengan sosok yang berada dalam lukisan itu bund!" seru Tania.

"Tania? Kamu tidak sedang demam, kan?" tanya bundanya dengan kebingungan.

Tanpa banyak Bicara Tania langsung menarik tangan sang bunda menuju halaman belakang. "Astaga! Tania apa ini?" seru bunda Tania terkejut.

"Ini belulang anak yang ada dalam lukisan itu Bund!" Tania yang langsung menceritakan kejadain yang ia alamai tadi malam. bunda hanya menggelengkan kepala, ada rasa tidak percaya dengan semua kejadian saat ini.

Bunda Tania pun menghubungui ketua Rt setempat, dengan di bantu warga belulang itu di pindahkan ke pemakaman umum. Sesepuh kampung menceritakan jika rumah tersebut peninggalan Nyai yang merupakan istri dari orang belanda.

"Terimakasih Kak Tania," ucap seorang gadis dengan senyum yang sangat manis, kedua tanganya menganggkat gaun putih yang ia kenakan, pantofel hitam mengiasi kakinya yang sempurna.

"Clara! Clara! Clara!" teriak Tania dalam tidurnya. Dengan tergobong Bunda masuk kekamar Tania.

"Tania?! Ada apa, Nak?" tanya wanita paruh baya itu seraya menghampiri sang putri.

"Bund... dia datang lagi, dalam mimpiku," ucap Tania.

"Siapa?"

"Clara..."

"Siapa Clara?"

"Yang ada di lukisan itu, dia mengucapka terimakasih dengan senyum manis dan kaki yang sempurna."

"Semoga dia sudah tenang di alam sana," ucap Bunda Tania lirih.

"Amiin..." timpal Tania seraya menatap lukisan yang sudah kembali di pasang pada tempat semula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun