Lantai yang dingin langsung menyergap begitu Tania, memasuki ruang tamu dengan orenamen kalsik tua, beberapa jendela besar terbuat dari kayu jati berwarna cokelat tepat berada di belakang set kursi dengan kayu dan warna senada. Ruangan besar tanpa sekat hanya ada empat pilar besar penyangga sunroof tengah ruangan.
Tania langsung menuju kamar pribadinya setelah mengunci kembali pintu depan. Rasa lelah membuat mata indah dengan bulu mata lentik itu terserang kantuk. Ia pun terlelap hingga malam menyapa.
Suara benda jatuh mengejutkan tidurnya. "Suara apa itu?" Gumamnya seraya beringsut dari tempat tidur.
Sudut mata mencari asal suara di tengah gelap, hanya remang sinar rembulan yang menerobos masuk lewat celah sunroof ruang tengah.
Tania menyalahkan saklar listrik agar penglihatan lebih maksimal. Tampak sebuah lukisan tergeletak di lantai.
"Lukisan ini, kenapa jatuh?" Gumamnya sambil berusaha menempatkan lukisan ke tempat semula. Ia memandang lukisan di tangannya sejenak. "Apa bagusnya sih lukisan usang ini, kenapa Bunda tidak membuangnya saja dan ganti dengan yang lebih kekinian," gumamnya kembali. Ia hendak kembali ke kamar setelah memastikan jika lukisan itu sudah aman di tempatnya.
Baru beberapa langkah, suara jatuh kembali terdengar, reflek kepala Tania menoleh kebelakang. Lukisan itu kembali terjatuh.
Ternyata paku gantungan yang sudah tidak lagi kokoh. Dengan menenteng lukisan tersebut Tania menyusuri lorong rumah yang minim cahaya hanya ada beberapa lampu dinding yang menepel di pada tembok, "Susah loh cari rumah yang besar dengan harga yang murah seperti ini," ucap Bunda Tania, sewaktu ia protes dengan rumah yang di beli sang Bunda.
"Huh! Hanya karena besar dan murah, tapi sepi penghuni seperti ini." Gerutu Tania, setelah menyimpan lukisan dalam gudang. Entah kenapa tiba-tiba bulu kuduk Tania meremang. Tangan mungilnya mengusap tengkuk yang tiba-tiba terasa dingin.
Tania berusaha memejamkan mata, membuang perasaan yang bermain-main dalam benaknya. Namun, selalu gagal, rasa gelisah semakin ia rasakan.