Tidak perlu malam untuk menyaksikan kegelapan, di sudut sepi hidup, dapat kita saksikan cahaya yang begitu redup.
Kumandang adzan subuh. Bangunkan geliat pagi, sepotong hati resah. Menadah sabana penuh mimpi. Mengapa gelang senja melingkar pada sepotong awan kelabu di ujung asa, hampa bisikan kalbu yang terlanjur menatap ranjang kelam.
Aroma ronce melati masih sangat tercium harumnya. Ucapan ijab kabul masih terngiang di telinga. Seharusnya semua masih di rasa indah untuk sebuah pernikahan yang baru terjadi satu bulan lalu.
Tapi.... Pagi ini Zahrana akan mengantar sendiri pernikahan suaminya.
"Baik, aku akan menerima perjodohan ini, tapi dengan syarat jika waktunya tiba aku berhak menikah kembali dengan wanita yang aku cintai," ucap Ikram kala itu. Saat mendatangi panti asuhan tempat di mana Zahrana tumbuh dewasa.
Zahrana hanya mengangguk pelan saat itu. Ia pun tak kuasa menolak perjodohan ini, saat kedua orang tua Ikram memintanya untuk menikah dengan putra semata wayangnya. Mengingat akan jasa mereka yang telah memberikan pendidikan dan kehidupan yang sangat layak di panti asuhan tempatnya bernaung. Setelah kedua orang tuanya meninggal karena bencana.
"Terimakasih Zahra," ucap Ikram membuyarkan lamunan Zahrana. Saat menuju rumah calon pengantinnya. Zahrana hanya tersenyum sambil menatap sang suami, tersenyum di tengah tangis hati yang ia sembunyikan di sudut paling dalam.
Untuk kali pertama Ikram menggenggam tangan Zarhana begitu hangat, layaknya suami yang mencintai.
Kebahagiaan Ikram terpancar lewat sorot matanya, ia begitu bersemangat. Seraya menggenggam jemari Zahrana ia melangkah menuju tempat di mana ia akan menikahi wanita yang ia cintai.