Atau mungkin terpaan angin lembut yang meniup jerami penutup atap gazebo hingga tak ada yang mau bersenda gurau di sana. Entahlah, Salsa hanya merenungi setiap perkataan dan berbuatan mereka di sini.
"Apa maksud dari kata, Kiayi waktu kemarin?" Tanya Salsa, kala itu kepada Nafisa sahabat satu kamarnya.
"Yang mana?"
"Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu yang dikejar dunia, Apa artinya kita tidak boleh bekerja? Hal yang mustahil" ujar Salsa seraya mengangkat bahu.
"Ya, nggak mustahillah... contohnya pak, Kiayai. Dia tidak kelihatan bekerja, tapi lihat kehidupannya? Bahkan punya mobil mewah!" jawab Nafisa. Dengan ekspresi takjub.
"Ya, itu sih kebetulan saja," kila Salsa.
"Kebetulan itu hanya sekali, tapi yang terjadi kepada pak, Kiayi itu berkali-kali, malah ada yang di tolaknya," Nafisa meyakinkan. Tidak ada yang dapa Salsa lakukan selain diam, saat itu.
Dan sekarang, lagi-lagi Salsa merenung di tengah kesunyian. Duduk di gazebo pondok yang berada tepat di depan asrama putri, Kakinya di biarkan menjuntai. Sesekali menatap rembulan yang bersinar, pendar cahayanya menebar ke seluruh lapangan rumput di hadapannya. Tempat biasa para santri bermain mengisi waktu luang.
Sengau sang pungguk turut membisikan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Seringkali Salsa menanyakan kepada para santri senior, tentang apa yang membuat mereka betah tinggal di tempat ini. Tapi jawabannya selalu mainstrem. Sama sekali tidak memberikan jawaban yang bisa memuaskan Salsa.