Tatkala malam mulai menggelar tirainya. Bintang-bintangg bersemai di sana. Selepas kegiatan holaqoh Al-quran yang di pimpin langsung oleh sang tuan guru. Satu pemandangan aneh, menarik perhatian Salsa untuk mendekati teman-temannya.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Salsa heran.
"Minum," ujar Nafisa seraya mengangkat gelas berukuran cukup besar.
"Loh? Itu, kan gelas bekas kiayai... kenpa kalian rebutan untuk meminumnya?"
"Iya karena ini bekas kiayai. Ada banyak barokah di sisa minuman ini," timpal Hafsoh.
Salsa mengernyitkan keningnya. "Bekas orang itu yang ada banyak penyakitnya bukan barokah!" seru Salsa.
"Ih! Salsa, santri macama apa kamu, tidak faham yang namanya barokah," ujar Nafisa ketus.
"Nafisaaaa.... Ini udah lewat dari abad 20, tahayul kok masih di sembah-sembah," ucap Salsa sambil menepuk jidatnya.
Barokah adalah omong kosong yang sering Salsa dengar. Semenjak Salsa hidup di pondok pesantren ini, ia benar-benar sadar bahwa ada banyak pola hidup di sini yang tidak bisa di terima dengan logika.
Ada satu hal lagi yang menggelitik pikiran Salsa. Satu perkataan yang sering kali diucapkan orang-orang di sini. "Jangan biarkan dirimu mengejar dunia, tapi biarkan dirimu dikejar dunia."
Salsa diam dan termenung di bawah langit pesantren yang lengang, tidak ada akivitas santri. Sunyi layaknya tempat tak berpenghuni. Mungkin karena gerimis yang kian manis mebasahi bumi pesantren malam ini. udara dingin membuai semua para pejuang ilmu untuk tetap berada di dalam buaian mimpi-mimpi dengan berbantalkan lengan.