SURAT YANG KUTINGGALKAN
Aku terjebak pada simpul yang kuikat mati sendiri, terperangkap dalam kehidupan yang terpakasa aku jalani hingga akhirnya aku tidak pernah mersakan apa arti kebahagiaan.
Apa yang kita rasakan hari ini adalah keputusan yang kita ambil di masa lalu secara sadar maupun tidak.
Keputusanku untuk menikah tiga tahun lalu dengan laki-laki yang mungkin aku cintai saat itu, melanggar semua petuah yang ada. Tanpa restu kedua orang tua semua kujalani, menanggung perih, kecewa dan sakit. Menjahit sendiri robekan-robekan hati yang koyak. Menyembuhkan luka lebam sebuah perasaan yang terkhianati.
Ya... aku merasa terkhianati, dia orang yang sangat aku cintai. Â Sosok laki-laki yang kukira mampu memberikan bahagia dalam kehidupan masa depanku, laki-laki yang mampu membuatku melawan arus tatak rama, moral dan adab terhadap keluarga bahkan kedua orang tua. Namun ia mengingkari semua janji, janji yang tidak pernah kupinta, janji yang terlontar dari mulutnya tanpa di paksa.
Ingatan ini selalu kepadamu, sedikitpun aku tidak pernah melupakan. Caramu berbicara, prihal apa yang sudah kamu berikan, dan aku tidak pernah ingin melepaskanmu, sesulit apapun keadaannya. Tapi sekarang, aku mengerti bahwa aku harus melakukannya.
Kutulis selembar surat dengan berurai air mata, untukmu yang saat ini entah berada di mana.
Dear... Arsel.
Arsel.... Aku pergi...Â
Berhari-hari aku menunggu kepulanganmu di sini, di rumah ini, masih terngiang dalam ingatanku saat pertama kali kita membuka pintu rumah ini saat kau katakan.Â
"Ini rumah kita, rumah yang akan kita isi dengan cinta dan tawa, bukan dengan luka apalagi air mata," namun semua hanya cerita, semua yang kau katakan hanyalah kebohongan belaka.
Kau khianati semua tanpa sisa!
Saat ini di sudut setiap ruang rumah impian kita, tak ada lagi tawa, yang ada hanya luka dan air mata.
Ketika pertama kali aku melihat perselingkuhanmu, hati ini sakit, sakit sekali... dunia seakan berhenti berputar. Hingga aku sadar bahwa sakit hati adalah rasa yang kita undang sendiri dalam kehidupan, dan akhirnya saat aku kembali melihatmu berselingkuh, kuabaikan semuan rasa itu.Â
Arsel...
Kamu datang sebagai orang kota yang pindah kedesa kala itu. Kamu sosok laki-laki yang sombong dan brengsek di mana kamu menganggap orang lain lebih rendah darimu. Semua anggapan itu sirna seiring kedekatan kita, kegigihanmu mendekatiku membuahkan hasil, kamu mampu menghipnotis semua logikaku bahkan nasehat semua orang terdekatku tak kudengarkan.
Kini semua nyata dalam khidupanku, tapi... mencintaimu tidak akan pernah kusesali, karena aku yang memilihmu, meski kamu telah membuat hatiku berkeping hingga tak terbentuk lagi.
Arsel...Â
Mungkin saat ini kamu sudah tidak mencintaiku lagi, setelah usahamu membuka pintu hatiku, namun kamu membuangnya tanpa perasaan, begitu murahnya cintamu, hanya karena aku wanita penyakitan?Â
Kemarin wanitamu dengan terang-terangan menemuiku... Dengan kalimat yang lugas dia meminta aku untuk menjauhimu! dia bercerita tentang kedekatan kalian, hadiah-hadiah yang telah kamu berikan, sementara denganku? Tak satu pun hadiah yang kamu berikan untukku, bahkan sampai saat ini. Kamu tau Arsel? Betapa sakitnya hati ini atas perlakuanmu, kurelakan hubungan dengan keluargaku berantakan, semua kulakukan demi kamu, lalu... inikah balasanmu?
Seandainya ayah dan ibuku masih ada, seandainya mereka tidak meninggalkanku lebih dulu ke alam baka, ingin rasanya aku bersujud di kaki mereka, memohon ampun atas semua keputusanku yang menentang nasehatnya. Semua yang mereka katakan tentangmu, benar adanya. Maffakan aku ayah, ibu!
Â
Arsel....Â
Kamu tidak lebih dari laki-laki pecundang!Â
Aku berusaha untuk baik-baik saja, selalu tersenyum saat menatapmu, aku pikir tidak mengapa hati ini sakit asalkan tetap bersamamu, tapi.... Dengan berjalannya waktu, aku tidak bisa, maaf.... Ini terlalu menyakitkan.
Saat aku menulis surat ini. Cuaca di luar sedang gerimis, tapi.... Matahari bersinar... pernahkah kamu menjumpai fenomena itu? gerimis di saat matahari bersinar? Seperti itulah aku, menangis di saat aku tersenyum, mengenang cinta dan luka yang kamu torehkan secara bersamaan.
Aku tau mungkin tindakanku tidak adil, untukku juga untukmu. Berulang kali aku berfikir tapi tidak juga menemukan titik temu, hubungan kita tidak lebih dari ribuan benang yang saling tertaut, disaat benang yang saling tertaut tidak saling mengikat, hadir benang lain yang membuat keadaan semakin rumit.
Arsel...
Saat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah jauh dari jangkauanmu, bahkan mungkin aku sudah berada dalam kotak kayu yang terkubur.
Aku akan pergi menuju satu tempat di mana aku akan berjuang melawan sel kangker dalam otakku, jika pun kelak aku kalah dalam perjuanganku, aku tidak ingin mati dengan membawa rasa benci dan dendam, terlebih terhadapmu orang yang sangat aku cintai, meski semua rasa itu saat ini hanya menjadi milikku.
Aku sengaja tidak memberitahukanmu hal ini, karena aku tidak mau rasa cinta yang kamu punya untukku berubah menjadi rasa iba dan kasihan. Aku sangat mencintaimu.
Saat ini rasa cinta itu sama besar dengan rasa benciku kepadamu, mungkin akan berakhir pada titik mati rasa.
Â
Salam, Keyzia
Tiga bulan sudah berlalu. Ingatan tentangmu masih melekat, sel kangker di otakku bisa membunuhku, tapi tidak bisa membunuh semua ingatanku tentangmu.
Apakah kamu sudah membaca surat yang kutinggalkan? Apakah kamu sudah hidup bahagia bersama yang lain? Dan tidak ada lagi sisa memory dalam ingatanmu tentang aku?
Ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu, di sisa waktuku. Dulu kamu melarangku memelihara kucing, dengan alasan. "Aku alergi dengan bulu kucing, Za," ucapmu ketika itu. Tapi... mengapa kamu menghadiahkan kucing lucu di hari ulang tahun selingkuhanmu?
Apakah bunga mawar yang kutanam di halaman rumah sudah tumbuh dan berbunga? Ah... iya, aku lupa jika kamu tidak suka bunga.
Seandainya kamu tau, di balik canda dan tawamu, ada sesorang yang setia menunggumu, meski canda dan tawamu hanyalah kebohongan belaka, dan kamu tidak menyadari itu, seakan tidak peduli dan menganggap semuanya tidak apa-apa.
Hingga akhirnya seseorang itu pergi bagaikan tertiup angin, semakin jauh dan tak dapat di gapai, aku lelah dengan waktu yang tidak berfihak kepadaku
Mungkin kamu sudah melupakan, ada sepotong hati yang remuk tak terbentuk, di sisa waktu yang hanya tinggal menghitung detak jam per menitnya. Kupejamkan mata untuk mengingat semuanya, memoryku tentangmu terkumpul sempurna. Wajahmu menjelma dengan nyata.
Senyummu, alismu, hidungmu, parasmu... namun aku tak mampu menyampaikan seribu pertanyaan yang menyatu jadi rindu. Karena....
Cahaya itu sudah datang... cahaya yang sangat aku tunggu, cahaya yang mampu mengurai simpul yang kuikat mati sendiri. Membebaskanku dari belnggu hati yang berkepanjangan.
Cahaya yang begitu lembut, membimbingku untuk bangun dari tempat tidur, aku mengikutinya, hingga kulihat tubuhku sendiri yang berbaring lemah di atas belangkar, kepala tanpa rambut efek dari kemoterapi yang kujalani.
Apakah ini akhir dari semuanya? Tidak lagi aku rasakan sakit. Arsel.... Aku akan pergi ke alam kebabadian, aku kalah dalam perjuangan ini. Hati, jiwa dan ragaku kini begitu damai dalam dekapan cahaya yang membawaku terbang jauh menuju ruang dimensi yang berbeda, seiring dengan doa. "Semoga dikehidupan yang akan datang Tuhan tidak mempertemukan kita lagi."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H