SURAT YANG KUTINGGALKAN
Aku terjebak pada simpul yang kuikat mati sendiri, terperangkap dalam kehidupan yang terpakasa aku jalani hingga akhirnya aku tidak pernah mersakan apa arti kebahagiaan.
Apa yang kita rasakan hari ini adalah keputusan yang kita ambil di masa lalu secara sadar maupun tidak.
Keputusanku untuk menikah tiga tahun lalu dengan laki-laki yang mungkin aku cintai saat itu, melanggar semua petuah yang ada. Tanpa restu kedua orang tua semua kujalani, menanggung perih, kecewa dan sakit. Menjahit sendiri robekan-robekan hati yang koyak. Menyembuhkan luka lebam sebuah perasaan yang terkhianati.
Ya... aku merasa terkhianati, dia orang yang sangat aku cintai. Â Sosok laki-laki yang kukira mampu memberikan bahagia dalam kehidupan masa depanku, laki-laki yang mampu membuatku melawan arus tatak rama, moral dan adab terhadap keluarga bahkan kedua orang tua. Namun ia mengingkari semua janji, janji yang tidak pernah kupinta, janji yang terlontar dari mulutnya tanpa di paksa.
Ingatan ini selalu kepadamu, sedikitpun aku tidak pernah melupakan. Caramu berbicara, prihal apa yang sudah kamu berikan, dan aku tidak pernah ingin melepaskanmu, sesulit apapun keadaannya. Tapi sekarang, aku mengerti bahwa aku harus melakukannya.
Kutulis selembar surat dengan berurai air mata, untukmu yang saat ini entah berada di mana.
Dear... Arsel.
Arsel.... Aku pergi...Â
Berhari-hari aku menunggu kepulanganmu di sini, di rumah ini, masih terngiang dalam ingatanku saat pertama kali kita membuka pintu rumah ini saat kau katakan.Â