TANDA UNGU PADA JARI BUKTI CINTA UNTUK NEGERI
Netralitas aparatur negara yang saat ini mungkin tak lagi cukup sekedar digaungkan, namun harus diwujudkan dalam paraktik pengawasan dan penindakan. Munculnya tanda-tanda praktik politik dinasti dan nepotisme, seakan membuat mendung di langit demokrasi.
Panggung politik pemilu kini sedang mempertontonkan, terlalu banyak drama bagaikan sinetron yang membuat khawatir, karena bisa menggerus kepercayaan rakyat, terhadap jalan sehat pesta demokrasi.
Dalam situsai seperti itu, catatan spirit reformasi pada tahun 1998, mungkin beroleh ruang patut untuk dihadirkan sebagai cermin penting sebagai tonggak jalan demokrasi.
Di tanggal 14 February, dimana dapat di sebut hari cinta dan kasih sayang, rakyat datang untuk memilih sang pemimpin pembawa harapan dan perubahan.
Tanda ungu pada jari menjadi simbol kedaulatan kita sebagai rakyat yang memeberikan cinta dan kasih sayang untuk Negeri.
Proses kehadiran mereka sebagai kandidat tetap harus menjaga keluhuran nilai, dan moral budaya demokrasi.
Rakyat dengan cerdas dan berbudi mulia memebrikan satu persatu suara dengan seribu harapan, di giring ke pelabuhan sang wakil melalui kotak pemilihan.
Jangan lagi membawa rakyat pada harapan yang tak menentu. Banyak contoh persoalan yang membelenggu langkah Indonesia menuju negara yang sehat. Seperti halnya wajah rusak yang memberlakukan UU cipta kerja, yang tidak hanya menyingkirkan banyak hak kaum buruh.
Kalusul, Undang-Undang agraria misalnya, melapangkan jalan bagi pemerintah untuk membangun kawasan industri, jalan tol, atau bendungan di atas tanah yang disita, dari pemilik tanah perseorangan, memeberi ganti rugi kepada pemilik dengan harga kurang dari nilai tanah.
Penundaan berlakunya UU ini oleh MK, meski harus di syukuri, pada dasarnya belum memiliki garansi sekecil apapun, bahwa aturan yang berpotensi merusak ini akan masuk keranjang sampah!
Contoh persoalan itu sudah cukup membuat rakyat merasa pesimistis, sejujurnya hanya rejiulitas, yakni ajaran agama yang mengatakan bahwa pesimisme hanya layak bagi mereka yang tidak beriman, yang bisa menghindarkan warga negara ini pada sifat Fatalistik tersebut.
Saat ini rakyat seolah tak punya penolong. Berharap pada oligarki yang kian mencengkram dan mendikte semua aparatur negara, bahkan pemerintah.
Sementara partai politik dan para politisi yang di pilih untuk menyauarakan kepentingan publik, terbukti tak peduli.
Pemilu demokratis disadari sebagi bagian dari jalan penting, kemajuan peradaban bangsa dan negara ini. jangan lukai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H