Mohon tunggu...
neneng salbiah
neneng salbiah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada buku yang ingin kau baca, namun kau tak menemukannya, maka kaulah yang harus menulisnya!

Apa yang kamu lihat itu adalah berita. apa yang kamu rasakan itu adalah puisi dan apa yang kamu khayalkan itu adalah fiksi. saya berharap pembaca tidak menghakimi tulisan-tulisan yang ada di blog ini. karena saya penulis pemula. belum pandai dalam menata ide pokok cerita dalam sebuah paragraf yang sempurna. Seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rubik, Membuat Aku, Kamu menjadi Kita

5 Februari 2024   11:06 Diperbarui: 5 Februari 2024   15:54 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Fhoto Kill shot

RUBIK MEMBUAT AKU, KAMU MENJADI KITA

"Itu gambar aku, kan?" tanya seorang laki-laki berseragam abu-abu putih di ruang kelas.

Disti langsung menyembunyikan sketsa yang sedang ia buat sejak tadi.

"Ah... bukan, ini gambar biasa, dari mana kamu menyimpulkan jika ini gambarmu?" tanya Disti seraya berdiri.

"Sejak tadi, kamu selalu memperhatikan aku, dan aku melihat sketsa gambar dengan rubik di atas meja," jawab Galuh.

Disti terdiam, menundukan kepala, tidak tau harus menjawab apa, gadis yang tidak memiliki paras secantik teman-teman lainnya, badan yang lebar dengan rambut yang di ikat namun terkesan berantakan, kaca mata lebar selalu bertengger di atas hidungnya yang minimlalis, membuat ia tidak menjadi sepesial di mata siapapun.

Sementara, Galuh laki-laki yang memilki paras tampan, jadi incaran beberapa siswi di sekolahnya, meski sedikit pendiam dan membatasi pergaulan. Jika waktu istrirahat tiba, Galuh hanya tertarik dengan kubus yang selalu di utak atik denga jarinya, menysun warna demi warna yang tumpang tindih, ketimbang berbaur dengan teman-teman lainnya.

Disti menyerahkan sketsa gambar yang sejak tadi ia sembunyikan di balik badan, Galuh mengambilnya dari tangan Disti. Lalu berjalan menuju mejanya.

"Hei.... Mana gambarku, kembalikan!" seru Disti.

"Ini gambar aku!" seru Galuh tak mau kalah.

"Tapi itu hasil karyaku."

"Dan kamu, menjadikan aku obyek secara diam-diam, bagaimana jika aku tidak terima?" ancam Galuh dan itu berhasil membuat Disti salah tingkah.

"Lalu, apa maumu?"

Galuh nampak berpikir seraya jemarinya sibuk menyusun kubus rubik.

Sumber fhorto Young Gesha grey
Sumber fhorto Young Gesha grey

"Kamu boleh ambil kembali gambar ini, tapi.... Dengan satu syarat," ucap Galuh.

"Ya...udah bilang apa syaratnya."

"Kamu harus menuruti semua perintahku selama tiga hari," ucap Galuh sambil mengangkat tiga jarinya.

Setelah perjanjian itu Galuh kerap kali mendatangi meja Disti di saat waktu istirahat jam pelajaran, hal itu mendapatkan perhatian dari teman-teman sekelasnya.

"Dis... kulihat akhir-akhir ini kamu dekat sekali dengan Galuh," tegur salah satu teman sekelasnya.

"Biasa aja kok," jawab Disti singkat.

"Ah... kamu gak asik di ajak bicaranya," keluh temannya tersebut dan pergi berlalu meninggalkan Disti, yang kemudian kembali asik dengan dunia sketsanya.

Sesekali Disti menoleh ke arah Galuh yang masih serius mengutak atik rubik di tangannya, seakan tidak merasa terganggu dengan riuh canda teman-teman lainnya.

Bagi Disti, Galuh memilki karakter yang unik, ia hanya tertarik dengan kubus-kubus rubik yang berbagai bentuk miliknya, rubik yang sudah susah payah ia susun sama warna, kemudian kembali ia acak, dan menyusunnya kembali dengan pola yang berbeda.

"Susun, nih... jika tidak bisa, hukumanmu aku tambah menjadi 10 hari," ucap Galuh yang tiba-tiba mendatangi mejanya.

Disti meletakan pensil sketsanya di atas meja dan meraih rubik yang di berikan Galuh, sejenak ia memperhatikan kubus dengan penuh warna acak, ia membolak balikan kubus di tangannya, setelelah itu, jemari Disti mulai menyusun layer demi layer tingkatan rubik. Sepersekian detik rubik di tangannya sudah tersusun sama warna.

Sumber Fhoto Young gesha grey
Sumber Fhoto Young gesha grey

Dengan senyum bangga, Disti meletakkan rubik di atas meja, entah mengapa Galuh pergi meninggalkan meja Disti, tanpa sepatah katapun, Disti hanya menatap Galuh seraya menganggkat kedua bahunya, setelah itu ia kembali menggoreskan sketsa pada buku gambar, hingga jam pelajaran di mulai.

Tanpa Disti sadari kedekatannya dengan Galuh telah membawa perubahan dalam dirinya, terutama penampilan dan rasa percaya diri, membuat ia lebih bersemangat dalam menghadapi hari, sambil tersenyum, Disti melirik ke arah Galuh yang kembali di sibukkan dengan rubiknya.

*****

Disti duduk sendiri di atas balkon rumah, sore yang cerah membuatnya tertarik untuk membuat lukisan di luar ruangan, belum sempat ia memulai aktivitasnya, siluet bayangan mengalihkan pandangan.

"Seperti Galuh," ucapnya.

"Galuh!!!" teriak Disti dari atas balkon, kemudian melambaikan tangan setelah Galuh melihat ke arahnya.

Dengan tergesa Disti keluar rumah dan membuka pintu pagar.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Disti.

"Aku tinggal di komplek ini," jawabnya datar.

"Oya? Yakin?"

"Yakinlah.... Aku tinggal di Vila, V."

Galuh menerima tawaran Disti untuk mampir ke rumahnya, obrolan santai mereka di sore itu membuat mereka semakin dekat dan akrab, apa lagi mereka memilki hobi yang sama.

"Sejak kapan kamu suka permainan rubik?"

"Sejak aku merasa menjadi manusia dewasa, dan banyak permasalahan hidup yang harus aku hadapi," ujar Disti.

Kening Galuh berkerut seraya menatap Disti yang seakan mengenang satu masa.

"Maksudnya?" tanya Galuh tidak faham arah pembicaraan sahabatnya.

"Ketika ayahku meninggal beberapa tahun lalu, aku begitu terpukul, ada banyak masalah hidup yang aku dan ibuku hadapi."

"Dengan bermain kubus rubik, aku sedikit terhibur, semua pola kupelajari untuk mebetulkan bentuk menjadi sempurna, aku sadari hidup bagaikan menyusun rubik, semakin rumit jika di diamkan, dan akan menyelesaikan masalah jika kita terus mencoba," lanjut Disti.

"Rubik itu permainan, sedangkan hidup adalah pilihan, Rubik membutuhkan kecepatan, sementara hidup roda yang berputar. Ketika kita memutar rubik, butuh konsentrasi tinggi, ketepatan dan kelogisan, untuk mengembalikan warna seperti semula. Namun kehidupan, butuh penghayatan setiap detiknya, dan perubahan yang lebih baik, karena kehidupan bukan rubik. Kehidupan bukan permainan yang bisa kamu ulang ketika kamu menyesalinya," papar galuh menimpali ucapan Disti.

Disti terdiam mendengarkan paparan Galuh, ia semakin mengagumi sosok yang saat ini ada dihadapannya.

"Kenapa memandangku seperti itu?" tanya Galuh yang melihat Disti terus menatapnya.

"Ah... kamu lebih pintar dari yang aku kira,' ucapnya seraya tersenyum.

"Jadi.... Sekarang kita satu sircale?" tanya Galuh seraya mengacungkan jari kelingkingnya dan Disti menyambut dengan jari kelingkingnya.

Satu kalimat sederhana yang di ucapkan Galuh memiliki makna tersendiri bagi Disti.

"Kita?" ulang Disti.

"Ya... kita!" seru Galuh, dan mereka tertawa bersama di satu senja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun