"Ketika ayahku meninggal beberapa tahun lalu, aku begitu terpukul, ada banyak masalah hidup yang aku dan ibuku hadapi."
"Dengan bermain kubus rubik, aku sedikit terhibur, semua pola kupelajari untuk mebetulkan bentuk menjadi sempurna, aku sadari hidup bagaikan menyusun rubik, semakin rumit jika di diamkan, dan akan menyelesaikan masalah jika kita terus mencoba," lanjut Disti.
"Rubik itu permainan, sedangkan hidup adalah pilihan, Rubik membutuhkan kecepatan, sementara hidup roda yang berputar. Ketika kita memutar rubik, butuh konsentrasi tinggi, ketepatan dan kelogisan, untuk mengembalikan warna seperti semula. Namun kehidupan, butuh penghayatan setiap detiknya, dan perubahan yang lebih baik, karena kehidupan bukan rubik. Kehidupan bukan permainan yang bisa kamu ulang ketika kamu menyesalinya," papar galuh menimpali ucapan Disti.
Disti terdiam mendengarkan paparan Galuh, ia semakin mengagumi sosok yang saat ini ada dihadapannya.
"Kenapa memandangku seperti itu?" tanya Galuh yang melihat Disti terus menatapnya.
"Ah... kamu lebih pintar dari yang aku kira,' ucapnya seraya tersenyum.
"Jadi.... Sekarang kita satu sircale?" tanya Galuh seraya mengacungkan jari kelingkingnya dan Disti menyambut dengan jari kelingkingnya.
Satu kalimat sederhana yang di ucapkan Galuh memiliki makna tersendiri bagi Disti.
"Kita?" ulang Disti.
"Ya... kita!" seru Galuh, dan mereka tertawa bersama di satu senja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H