Para ulama yang kedudukannya sebagai pemimpin informal dalam masyarakat, memeiliki peran penting dan strategis. Mereka memperkokoh etika, moral dan spiritual serta mencerahkan umat dalam nilai-nilai Islam: dalam dunia modern, peran, fungsi dan tanggung jawab ulama tidak akan pernah tergantikan.
Politik juga bisa dikaitkan sebagai tentang legimitasi kekuasaan, dalam hal Negara. Negara adalah sisi nyata dari perpolitikan, dengan itu maka untuk mempertahankan Negara, pengabaian tentang sifat-sifat berbau moral, dapat saja di hilangkan oleh penguasa.
Dalam berpolitik peran ulama sangatlah penting, karena dapat mengontrol kebijakan penguasa.
Islam tidak menyetujui penyekatan antara agama dan politik. Islam ingin melaksanakan politik selaras dengan tuntunan yang di berikan agama Islam menggunakan kekuatan politik untuk mereformasi masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam tempat yang paling buruk.
Jika ulama dilarang masuk kedalam politik, lalu siapa yang pantas untuk masuk kedunia politik itu sendiri? Orang-orang yang jauh dari kehidupan beragama? menjauhkan dari tuntunan ulama lalu terjun kedunia politik dengan bebas merusak tatanan negara.
Ulama adalah orang yang mendalam ilmu dan pengetahuannya tentang islam, serta hukum-hukum syareat di dalamnya.
Dalam makna yang luas, bahwa ulama adalah intlektual, yang tugas dan fungsinya sama dengan cendikiawan. Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa ulama memiliki peran penting dalam merebut dan memperjuangkan kemerdekaan.
Hal ini tentu menjadi keharusan bahwa ulama harus berpolitik dalam dakwahnya. Sebagai pewaris nabi tentunya, ulama tetap berpegang teguh pada Alquran dan Hadis dan menolak politik-politik yang menghalalkan segala cara.
Menurut Prof. Dr. Quraish Sihab, Alquran tidak menjelaskan tentang politik, tetapi Alquran menggunakan beberapa istilah-istilah yang mengisyaratkan tentang politik, diantaranya kata, Al-hukm, al-khalifah, alummah, al-mulk, assyuro, ulilamri. Berbicara tentang ulama dalam ranah politik, alquran mencontohkan diantaranya ayat-ayat tentang kepemimpinan para nabi. (Tafsir Al-Mishbah/Karya Quraish Shihab)
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Artinya: "maka berkat rahmat Allah engkau (Muhamad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu, karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun untuk mereka dan musyawarhkanlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian, apa bila engkau telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertawakal." (QS Ali'Imran ayat 159)
Dalam ayat ini di jelaskan dalam tafsir Al-Mishbah dan Tafsir Al-Azhar. Menyebutkan bahwa nabi Muhamad sebagai pemimpin umat islam pada saat itu, sering mengambil keputusan yang berasal dari para sahabat, sebagai keputusan bersama, bukan keputusan yang bersumber dari dirinya sendiri.
Musyawarah bersama untuk mengambil satu kebijakan berdasarkan suara terbanyak bukan hanya suara pemimpin elit politik saja, disinilah peran ulama dibutuhkan sebagai tonggak dakwahnya kepada masyarakat dan menyelaraskan dua pilar Ulama-umara, dalam pemerintahan.
Di dalam konsep ulama-umara (politik islam), memiliki tiga pilar anatara lain, Perundangan syar'I (Halal dan haram), Perundangan siyasah untuk kemaslahatan atau mafsadah (Bermanfaat atau berbahaya), Perundangan realita dan kepastian (Mungkin atau tidak mungkin) --Ahmad bin abdulah bin Shalih. Az-zahrani, Al-I'dad asy-Syar'I wa ats-Tsaqafi li al-Mujahid (Majmu'ah Al-anshar al-baradyah)-- hal 51.
Untuk mengetahui ketiga pilar tersebut haruslah orang-orang yang terpercaya kelimuannya secara syareat, Waqi'(kondisi) dan orang terpercaya agamanya, yaitu ulama.
Ulama dan agama selalu menjadi isu seksi dalam sebuah kontestasi politik, hal ini karena agama merupakan nilai keyakinan Illahiyah yang sakral bagi setiap orang.
Di dalam Islam ada konsep ulama-umara, dia entitas ini diyakini menjadi penopang pilar Negara. Apalagi Indonesia yang merupakan Negara dengan mayoritas penduduk muslim.
Menyatukan ulama (tokoh agama) dan Umara (Pemimpin/presiden) maka akan mampu membangkitkan kesadaran relijiusitas para pemilih yang merupakan mayoritas.
Secara empiris, keberadaan ulama dalam bidang, pendidikan, ekonomi dan kesehatan, tidaklah memantik reaksi yang kuat, tetapi keberadaan ulama dalam kancah politik, akan menjadikan perhelatan menjadi hingar bingar. Apa pun yang terjadi, kehadiran ulama telah memberikan bukti bahwa para ulama, sungguh memiliki literasi politik yang sangat tinggi, dan hal ini tentu sangat menggembirakan.
Kita nantikan saja detik-detik menegangkan ini dengan santai, sesekali menonton tingkah polah para politikus yang dinamis. Sebagai penonton, tentunya hanya komentar dan harapan yang dapat kita berikan, harapan tampaknya sangat absorud dalam kontestasi politik.
Dalam teori negara demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan, Rakyat yang notabene hanyalah penonton ini akan menentukan hasil akhir kontestasi politik.
Betapa pun hebatnya strategi politik, lincahnya manuver, lihainya akrobat yang dimanikan. Rakyatlah yang akan menentukan.
Wahai para capres dan cawapers, silahkan berikan kami pertunjukan yang menarik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H