Konsekuensi Mobilitas Sosial
Terjadinya mobilitas sosial di dalam masyarakat menimbulkan berbagai konsekuensi, baik positif maupun negatif. Konsekuensi ditentukan oleh kemampuan individu atau kelompok individu dalam menyesuaikan dirinya terhadap "situasi" baru, kelompok baru, orang baru, dan cara hidup baru. Apabila individu atau kelompok individu yang mengalami mobilitas sosial mampu menyesuaikan dirinya dengan situasi yang baru maka akan memperoleh hal-hal positif sebagai konsekuensi mobilitas sosialnya. Apabila individu atau kelompok individu tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi baru, maka akan terjadi konsekuensi-konsekuensi sebagai berikut:
- Konflik antarkelas
Dalam masyarakat terdapat kelas-kelas sosial. Perbedaan kepentingan antar kelas sosial dapat memicu terjadinya konflik antar kelas sosial. Misalnya: konflik antara pemimpin perusahaan dan buruh yang menuntut kenaikan upah.
- Konflik antarkelompok
Konflik antar kelompok (konflik horizontal) bisa melibatkan ras, etnis, agama atau aliran/golongan, dan antar daerah. Konflik jenis ini dapat terjadi karena perebutan peluang mobilitas sosial, misalnya kesempatan memperoleh sumber-sumber ekonomi, rekrutmen anggota, peluang memperoleh kekuasasan politik atau pengakuan masyarakat.
- Konflik antarindividu
Persaingan untuk meningkatkan status, selalu menimbulkan konflik antar individu. Persaingan bisa terjadi di lingkungan manapun, misalnya di lingkungan sekolah, lingkungan tempat bekerja, bahkan bisa pula terjadi di lingkungan keagamaan.
- Konflik antargenerasi
Konflik ini terjadi dalam hubungannya mobilitas antar generasi. Fenomena yang sering terjadi adalah ketika anak-anak berhasil meraih posisi yang tinggi, jauh lebih tinggi dari posisi sosial orang tuanya, maka timbul ethnosentrisme generasi. Masing-masing generasi (orang tua maupun anak) saling menilai berdasarkan ukuran-ukuran yang berkembang dalam generasinya sendiri. Generasi anak memandang orang tuanya sebagai generasi yang tertinggal, kolot, kuno, lambat mengikuti perubahan, dan sebagainya. Sementara itu generasi tua mengganggap bahwa cara berfikir, berperasaan dan bertindak generasinya lebih baik dan lebih mulia dari pada yang tumbuh dan berkembang pada generasi anak-anaknya.
- Konflik status dan konflik peran
Seseorang yang mengalami mobilitas sosial, baik naik ke kedudukan yang lebih tinggi, maupun turun ke kedudukan yang lebih rendah, dituntut untuk mampu menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang baru. Kesulitan menyesuaikan diri dengan statusnya yang baru akan menimbulkan konflik status dan konflik peran.
Konflik status adalah pertentangan antarstatus yang disandang oleh seseorang karena kepentingan-kepentingan yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan banyaknya status yang disandang oleh seseorang. Misalnya seorang pegawai KPK yang sedang menangani suatu kasus, harus berhadapan dengan kenyataan bahwa salah seorang yang tersandung kasus tersebut adalah anggota keluarganya.
Konflik peran merupakan keadaan ketika seseorang tidak dapat melaksanakan peran sesuai dengan tuntutan status yang disandangnya. Misalnya seorang pemimpin yang telah dipilih warganya, tidak mampu menjalankan peranannya sebagaimana diharapkan oleh warga kelompok sosialnya, maka individu tersebut akan mengalami konflik peran. Post PowerSyndrome merupakan bentuk konflik peran yang dialami oleh orang-orang yang harus turun dari kedudukannya.
Referensi
Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1991. Sosiology, Edisi 6 jilid I. Terj. Aminudin dan Tita. Jakarta: Gramedia.