Mohon tunggu...
Nenden Rikma Dewi
Nenden Rikma Dewi Mohon Tunggu... Freelancer - What you seek is seeking you. (Rumi)

Content writer, proofreader and academic consultant.

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Metaverse: Bermula Imajinasi, Akankah Membuat Delusi?

2 Januari 2022   20:49 Diperbarui: 2 Januari 2022   21:29 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah kita mengunjungi museum dan tidak sepenuhnya mengerti tentang deskripsi yang dituliskan dalam papan informasi dan informasi sejenis lainnya? Di Indonesia ini sayangnya belum ada ya. Padahal, banyak tempat di negara-negara maju menggunakan realita maya dimana para pengunjung dapat mendapat informasi bahkan mendapatkan pengalaman seolah berada di dalam karya tersebut.

Kita juga menonton bagaimana Tony Stark mencipta dan memakai teknologi sejenis dalam Iron Man bahkan jauh lebih mutakhir karena memadukan internet, realita maya (virtual reality), realita tambahan (augmented reality) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) bernama Jarvis. Ada kalanya semua ini terkesan seperti sebuah imajinasi belaka bagi beberapa orang, namun kenyataannya adalah satu hal yang ada di depan mata.

Internet dan teknologi menawarkan dunia baru bagi umat manusia sehingga muncullah beragam teknologi yang perlahan mengubah persepsi kita tentang realita. Kita mungkin akrab dengan istilah virtual reality (VR) yang dipopulerkan oleh Jaron Lanier di tahun 1980an, begitu juga augmented reality (AR). 

VR diciptakan oleh seorang pakar komputer, Ivan Sutherland, dan muridnya, Bob Sproull. Sementara AR diciptakan oleh dua orang peneliti Boeing, Tom Caudell dan David Mizell. Jika melihat siapa penciptanya, dapat kita pahami teknologi semacam ini dikembangkan oleh berbagai industri dan medis yang melibatkan komputer dan pencitraan.

Google  berani memproduksi Google Glass di tahun 2013 dengan harga cukup tinggi meski hanya bertahan sesaat. Berikutnya beragam VR headset yang digunakan untuk kebutuhan tertentu muncil , khususnya video game seperti yang dikeluarkan oleh Playstation.

Belakangan dengan ramainya Facebook berubah nama menjadi Meta sebab menurut Mark Zuckerberg ke depannya fokus pada metaverse alias meta universe, sebuah semesta digital yang mereplika dunia nyata dengan keberadaan tanah, bangunan, dan sebagainya. Konon gagasan ini memang sudah lama muncul melalui karya sastra fiksi ilmiah. 

Penggunaan VR Headset semakin populer dengan rilisnya novel Ready Player One (Ernest Cline) di tahun 2011 dan diadaptasi menjadi sebuah film oleh Stephen Spielberg di tahun 2018. Sehingga rasanya tidak dapat dinafikan para gamers sudah sangat familier dengan jenis semesta seperti metaverse.

Namun apakah metaverse, yang menurut Zuckerberg baru akan terealisasi 5 tahun mendatang, ini sebuah hal yang menguntungkan kita sebagai pengguna awam atau justru merugikan? Perhatian saya justru tertuju tidak pada aspek ekonomi dan geopolitik, melainkan aspek psikologis atau persepsi kita tentang dunia.

Dengan adanya media sosial saja, permasalahan terkait kondisi mental seperti depresi, gangguan kecemasan, gangguan tidur dan lainnya meningkat di masa pandemi ini. Mereka, bahkan mungkin kita, cenderung menarik diri atau menghindari interaksi sosial secara langsung demi kesehatan.

Persepsi secara sederhana adalah cara kita memahami suatu objek, gagasan atau lingkungan sekitar berdasarkan pada hasil interpretasi dan evaluasi dari pengalaman panca indera. Perubahan persepsi dapat terjadi bergantung kepada asupan informasi yang diterima.

Metaverse, menurut Neal Stephenson merupakan penyatuan realitas fisik dan ruang virtual, memadukan VR, AR, lifelogging dan mirror world dapat memberikan kelelahan kognitif. Kelelahan semacam ini kemungkinan jika dilakukan terus menerus dapat mengarah kepada kecanduan dan delusional, seperti pernyataan Phll Reed dalam Psychology Today.

Delusi yang mungkin akan terjadi adalah paranoia sebab persepsi mereka terhadap realita terganggu. Terlebih penggunaan metaverse ini menggunakan lifelogging dimana kegiatan dan tindakan seseorang direkam dan dibuat menjadi data terperinci. Data ini kelak akan digunakan setidaknya untuk pembuatan avatar dan berinteraksi di dalam semesta virtual yang merepresentasi dunia nyata.

Jika hal ini memang benar terjadi, seorang pengguna metaverse yang belum sepenuhnya matang secara kognitif dalam memahami lingkungan sekitar dan segala hal terkait di dalamnya dapat mengalami kesulitan untuk memisahkan antara realita dan virtual. Tentunya hal ini dapat memengaruhi pemahamannya terhadap kondisi nyata dimana dia hidup.

Lalu siapkah kita dengan cara hidup yang mutakhir ini? Cara hidup yang berawal dari imajinasi, namun dapat berujung delusi jika tak mampu mengidentifikasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun