Mohon tunggu...
Nenden SuryamanahAnnisa
Nenden SuryamanahAnnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hanya seseorang yang sedang belajar menulis dan belajar menyampaikan opininya lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Andai Aku

28 November 2021   11:59 Diperbarui: 28 November 2021   12:05 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu berjalan cepat. Ini sungguh rekor baru. Aku sudah menghabiskan 7 hari di 'kehidupan' menjadi istri ini. Apa kata Kakek Jim bilang, tidak semudah yang kubayangkan? Susah dari mananya? Aku justru sangat bahagia di sini. Rutinitasku hanya tidur-makan-nonton drama-tidur lagi. Sesekali aku memang memasak, mencuci baju tapi itu mudah dilakukan, tak banyak menguras tenaga dan pikiran. Sisa waktuku biasanya aku habiskan untuk yoga, berbincang ringan dengan ibu mertua, juga quality time bersama lelaki tampan itu --ini bagian yang paling aku suka.

Tapi aku melewatkan satu hal, tidak ada kehidupan yang luput dari hal buruk yang mengikutinya. Tak peduli sekuat apa kita berusaha untuk menjalaninya dengan sempurna, tak peduli sebaik apa orang yang berada di sekeliling kita. Ujian dan rasa sakit tidak akan pernah hilang. Itu sudah menjadi bagian dari konsekuensi hidup.

Tepat di hari ke tujuh, aku yang sedang asyik berbincang dengan suamiku di ruang tengah, tiba-tiba merasakan kontraksi. Aku berteriak kencang, rasanya sakit sekali. Aku tak pernah merasakan hal yang sesakit ini. suamiku juga ikut panik. Ia segera menelepon ambulance dan bersamaan dengan itu, kesadaranku terus menurun.

Saat aku membuka mata, aku sudah berada di sebuah ruang remang. Bau alkohol menusuk hidung. Kontraksi itu mulai terasa kembali, aku kembali meraung,  rasa sakitnya menjadi berkali lipat. Suamiku yang berdiri di sebelah mengenggam tanganku. Menyemangatiku yang mulai menagis terisak.

Aku melirik ke sepatu yang aku pakai. Sudah cukup aku sudah tidak kuat lagi. Aku mencoba melepaskannya. Mulai menendang-nendang. Sialnya, beberapa suster malah memegangi kakiku. Aku mendelik. Berteriak, menyuruh  mereka melepaskannya. Tapi mereka malah mencengkram lebih keras, aku berpaling menatap suamiku lantas berbisik dengan sisa tenaga.

"Tolong lepaskan sepatuku." Ia langsung melepas genggamannya, lantas melepaskan sepatu itu. Saat sepatu itu sempurna terlepas. Splash! cahaya putih membuatku terhenyak, aku belum siap. Saat kembali membuka mata, aku jatuh terguling dari kursi toko sepatu itu. Kakek Jim berteriak tertahan, kaget melihatku muncul sambil berteriak. "Aku bisa mati." Aku mengusap air mata yang bercampur dengan peluh. Kakek Jim malah terkekeh sambil membantuku berdiri.

"Mengapa Nona kembali? Bukannya Nona ingin membeli sepatu itu?" Aku menggeleng cepat. "Atau Nona ingin menco-" Aku menggeleng lagi.

Nafasku masih belum stabil. Peluh masih mengucur deras dari dahiku. Aku masih terduduk lesu di lantai toko. "bagaimana bisa seorang wanita menahan rasa sakit melahirkan? Kalau rasanya sesakit itu, bukankah seharusnya banyak wanita yang lebih memilih untuk berkarir saja?" Kakek jim mendekat, ia tersenyum lantas menyentuh lenganku. Sentuhannya entah bagaimana begitu hangat.

"Karena mereka telah memilih jalan hidupnya, Nona. Mereka memilih jalan hidup beserta semua konsekuensi dan kesakitan yang bersandingan dengannya. Itulah alasan mengapa seorang wanita rela menahan sakit untuk bertemu buah hatinya, itu juga alasan mengapa temanmu tetap kuliah sambil bekerja walau kelelahan." Aku menatap kakek jim agak lama lantas menunduk. Kalimatnya benar.

Kakek jim melepas genggamannya lantas kembali dengan menyodorkan sepatu kets bututku "ambilah kembali, ini milikmu. Semoga mulai hari ini Nona bisa menerima semua pilihan hidup Nona dengan utuh, sepaket dengan konsekuensinya." Aku menatap lamat sepatu itu, bayangan ayah, ibu juga tugas kuliah yang menumpuk menjejali isi pikiranku. Tapi kali ini aku tidak mengeluh, aku tersenyum. Senyum terlega yang pernah aku rasakan.

"Ouh yah, Nona tahu, ada alasan mengapa toko sepatuku hanya memiliki 1 warna, 1 ukuran untuk  setiap model sepatunya." Aku mengangkat wajah, penasaran. "itu karena setiap sepatu hanya akan berjodoh dengan satu pemilik. Ia adalah orang yang Tuhan percaya sanggup menjalani setiap langkah bersama sepatu itu. Melewati semua kesenangan dan kesulitan yang telah ditetapkanNya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun