Kamu melihatku dengan mata yang berlinang. sembari menarik-narik rok panjang ibu, kamu terus merengek meminta dibangunkan rumah di tubuhku. Rumah pohon, persis seperti yang ada di sinetron "Heart Series" katamu.Â
Ayah di sebelah hanya tertawa melihat rengekan gadis kecilnya itu. Ia lalu berlutut di hadapanmu, menatap anak gadisnya yang masih berusia sembilan tahun.
"Ayah akan buat, tapi jangan tarik rok ibu lagi nanti bisa sobek, loh" Demi mendengar kalimat itu, kamu berteriak kegirangan, meloncat-loncat. Saat itu, bahkan air mata di pipimu belum kering, tapi kamu sudah melupakan perasaan sedih tadi. Tanpa ada dendam yang tertinggal, tanpa ada luka yang meradang.
Halaman rumah ini tidak besar, hanya 4x3 meter, yang berisi aku --pohon tua besar dan sisanya rerumputan yang sengaja ditanam. Dulu halaman ini sesak dengan tanaman hias, namun ibu memutuskan untuk membagikannya ke tetangga. Ia mau kamu bebas bermain di sana. Ayah juga memasang ayunan di rantingku yang paling kokoh.Â
Selama seminggu kamu tak mau diajak main keluar, kamu terus menaiki ayunan itu dari pagi hingga sore. Sedikit rahasia, ayunan itu adalah salah satu trik ayah agar kamu tetap aman di rumah.
Sore ini Kamu bermain bersama kawan-kawanmu di halaman rumah, bermain lompat tali. Wajah kalian belepotan bedak. Ibu juga ada di sana duduk di teras bersama ibu-ibu lain.Â
Mereka berbincang ringan sembari sesekali menyuapi anaknya makan sore. Potongan kehidupan yang indah. Lembutnya sinar matahari membuat pemandangan ini semakin sakral.
kamu tersenyum mengingat potongan masa kecil itu. Jari-jarimu membelai ayunan usang buatan Ayah lantas mendudukinya dengan hati-hati. Ayunan itu tidak roboh, Ayah membangunnya dengan sangat kokoh.Â
Kamu mengayunkannya perlahan sembari memeluk erat sebuah celengan kaleng. Matamu mulai berkaca-kaca, namun kamu masih sanggup untuk menahannya.Â
Malam ini adalah malam terakhir kamu tinggal di rumah. Besok pagi adalah hari pernikahanmu, sosok pria lain akan menggantikan peran Ayah untuk menjaga, mendidik juga mendampingimu. Sekaligus menggantikan peran ibu untuk mendengarkan serta mengasihimu.
Apa yang sedang kamu pikirkan sekarang? Apa kamu sedang memutar kenangan tentang ayah? Apa kamu ingat satu malam saat kamu berusia 14 tahun, saat kamu mulai mampu mengambil keputusan sendiri, kamu mengunci diri di rumah pohon ini sambil memeluk lutut yang basah karena air mata. ayah di bawah sana berteriak memarahimu.
"Ayah kan sudah bilang kalau teman lelaki kamu itu bukan anak baik. Dia tidak bertanggung jawab, masa iya bawa anak gadis main sampai jam 7 malam!"
"Temen Kei pergi main sama temennya sampe jam 9, orang tuanya ga marah. Lagian kita cuman jalan-jalan ajah ayah, kenapa sih cuman gara-gara itu ayah benci banget sama dia?" kamu membalas dengan nada yang lebih tinggi, diiringi isak tangis. Ayah tak langsung menjawab, ada jeda beberapa detik, ia terlihat sedang berpikir, mencari kalimat yang tepat.
"karna dia membawa pengaruh buruk buat kamu, lihat nilai sekolahmu jadi jelek. Biasanya kamu dapat peringkat satu, tapi semester ini, setelah kenal dengan lelaki itu, kamu hanya dapat peringkat tiga!" sebelum kamu membantahnya lagi, Ibu menarik tangan ayah, menyuruhnya berhenti memarahimu. Lantas mereka masuk ke dalam rumah. Meninggalkanmu yang masih belum terima dimarahi.
Sembari menatap cermin kamu menanyakan banyak hal pada pantulanmu itu. Mengapa ayah berubah? ia seperti tak lagi memahamiku. Apa dia sudah tidak menyayangiku? Dia selalu saja membuat teman lelaki menjauh karna ketakutan. Apa dia tidak pernah muda?Â
Dia juga tak pernah memberi hadiah untukku yang selalu juara satu, dia tidak pernah peduli. Tapi lihat sekarang dia memarahiku hanya karena turun dua peringkat? Apa dia tak bisa mengapresiasiku sekali saja? bukankah dibanding teman yang lain aku tetap unggul? Tidak bisakah dia bersyukur memilikiku? Kamu terlihat sangat marah malam itu. Bahkan kamu memutuskan tidur di sini. Semalaman kamu terus mempertanyakan : Apakah ayah tidak menyangiku lagi?
Hari-hari berikutnya kamu semakin menjaga jarak dengan Ayah. Canda tawa yang biasanya mengiringi percakapan kalian menguap begitu saja. kamu hanya menimpali candaan Ayah dengan tersenyum seadanya atau bahkan jika kamu terlihat sedang kesal, kamu hanya berlalu tak menanggapi.Â
Atau saat Ayah bertanya tentang sekolah dan tentang hasil ujianmu, kamu akan menjawabnya dengan sangat ketus. Malamnya di rumah pohon ini, kamu kembali berdialog dengan pantulanmu di cermin.
"Lihat! Ayah hanya membebaniku dengan segala ekspetasinya. Dia selalu ingin aku menjadi nomor satu tanpa memberi jatah gagal. Menyebalkan!"
Semenjak malam itu kamu seperti membuat benteng besar antara kalian berdua. Dengan pintu baja yang dikunci dari dalam. Ayah, di sisi luar hanya bisa mengetuk, mencoba merayumu untuk membukanya. Tapi entah mengapa kamu malah menambah gembok setiap kali ketukan lembut itu terdengar.
Jam setengah tujuh malam, Ayah menelponmu yang masih ada di luar. Berkali-kali tersambung, berkali-kali juga diputus. Ayah melirik bendera kuning yang dipasang di depan gerbang. Matanya memerah, air mata sudah menggunuk di pelupuk, tapi ia tetap menahannya agar tidak keluar.Â
Jam delapan malam kamu baru sampai di rumah. Suara dengung lantunan Alquran terdengar dari sana. Kamu berlari ke ruang tengah, menerobos barisan ibu-ibu yang duduk di atas karpet. Suara tangismu serta teriakan 'ibu' terdengar sampai ke halaman hingga tiga jam ke depan.
Setelah hari itu, kamu semakin memperkokoh benteng itu. Kamu benar-benar menutup diri dari Ayah. Kamu semakin benci melihatnya. Percakapan kalian semakin singkat dan jarang.Â
Entah mengapa kamu sepertinya sangat puas menghakimi ayah seperti itu. Mungkin itu salah satu cara untuk menyalurkan amarahmu pada takdir. Walau menurutku itu tidak adil.
Andai kamu tahu, di malam saat Ayah memarahimu itu, di kamar, ia berulang kali bertanya pada Ibu, memastikan bahwa marahnya itu murni karena ia menyayangimu. Ia juga terus bertanya pada Ibu apakah kata-katanya keterlaluan, apa nadanya terlalu tinggi.Â
Ayah juga memilih berdiri hingga tengah malam, melihat keluar jendela. Rumah pohon ini terlihat jelas dari sana. Wajahnya terlihat sangat cemas dan sedih.
Sebelum ayah berbaring, ia bilang pada ibu yang terbangun. Tadi siang, ia melihat teman lelakimu jalan bergandengan dengan gadis lain. Tapi ayah tak sampai hati memberi tahu hal itu. ia malah menjadikan  peringkatmu yang turun dua angka sebagai alasan ia membenci teman lelakimu.Â
Padahal saat peringkatmu turun ayah tak sedikitpun terlihat kecewa. Ia bahkan bilang pada Ibu "Bagaimana kalau kita beri kei tiket liburan, ia harus rehat sejenak."
Di hari-hari selanjutnya, Ayah berusaha mendekatimu lagi. Setiap kali kamu mengacuhkannya, ia akan membahasnya dengan ibu semalaman. Apa candaannya tadi melukai hatimu? Sampai di satu titik saat Ayah menyadari bahwa kamu telah membangun benteng itu. Ia mengubah cara menyenangkan hatimu.Â
Setiap candaanya tak berhasil membuatmu tersenyum, ia akan memasukan uang ke dalam sebuah celengan besi. Ia berharap, uang ini kelak bisa membuatmu tersenyum, tidak seperti candaanya.
Begitupun saat Ayah tak sanggup memberimu selamat atas segala pencapaianmu. Ia akan membeli makanan kesukaanmu yang dititip lewat ibu. Ia juga akan menabungkan uang lebih banyak di celengan besi itu sambil berdoa, agar suatu saat nanti hubungan kalian kembali menghangat, dan ayah sanggup memberikan celengan itu padamu dengan canda tawa.
Setelah malam ibu pergi, Ayah juga kembali berusaha untuk menaklukkan benteng itu. Ia mengabaikan perasaannya yang hancur lebur, ia hanya ingin menghibur anak gadisnya walau di malam sebelumnya ia menangis sendirian di dalam kamar.
Saat ia sendiri masih harus beradaptasi menjadi Ayah sekaligus ibu untukmu, ia tetap gigih mengetuk benteng itu, mencoba jadi Ayah yang bisa kamu jadikan bahunya untuk bersandar.
Matahari sempurna tenggelam, menyisakan semburat oranye di langit barat. Kamu memutuskan untuk naik ke rumah pohon, duduk di salah satu sudutnya yang terasa lebih sempit.Â
Celengan kaleng itu akhirnya kamu buka. Bentuknya seperti kaleng susu, tinggal dibuka bagian atas, tanpa harus merusak kalengnya atau mengeruk isinya dengan penggaris. Ayah memang merencanakan itu. Biar mudah dibuka oleh kei, jelasnya pada ibu.
Kamu menatap tumpukan uang itu dengan getir, satu tetes air mata lolos, menetes tepat ke dalam celengan. "Maafkan aku ayah." kamu membekap mulut, tak bisa lagi menahan tangis. Suara alarm ponsel menghentikan tangismu sejenak, jam 7 malam. Alarm batas berkeliaran di luar rumah.Â
Kamu tak cepat mematikannya, membiarkan alarm itu mati sendiri. Dulu kamu selalu cepat-cepat mematikannya lantas sambil menggerutu kamu bergegas pulang.Â
Ayah pasti sudah menunggu di gerbang untuk 'menyambutmu' walau kamu rasa itu seperti pengawasan dari satpam sekolah. Hari ini alarm itu sudah tak berguna. Tidak ada 'satpam' itu lagi yang akan menyambutmu.
Kamu lanjut membuka pesan whatsapp. Ayah, tertulis di bagian atas. Cepat pulang kei, hati-hati. Ayah menunggu. Satu lagi tetes air mata yang lolos, menetes di atas layar ponsel. Itu pesan terakhir darinya.Â
Pesan terakhir yang bahkan kamu acuhkan. Kei pulang yah, tolong kembali jangan pergi dulu. Kamu membalas pesan itu, berharap tanda centangnya akan berubah biru. Tapi tentu saja sia-sia, tanda centang itu akan selalu satu dan tak akan pernah berubah biru.
Suara serangga malam bersaut-sautan di luar sana. Malam semakin larut. Kamu berdiri di pintu gerbang. Sekali lagi menatap rumah tua itu, lantas menempelkan selembaran di pintu gerbangnya. RUMAH INI DIJUAL.
"Mungkin sebaiknya aku bermalam di rumahku saja malam ini, Ayah, Ibu, kei pamit, besok hari pernikahanku. Semoga kalian bisa menyaksikannya dari sana dan turut bahagia. Maafkan kei tidak bisa menjadi anak yang baik. Selamat tinggal."
Kamu berjalan menjauh, cahaya lampu jalan membentuk seluet tubuhmu yang sedikit bungkuk . Rumah ini mejadi akhir bagi kisahmu. Namun mungkin di lain hari akan membuka cerita baru bagi manusia lain. Selamat tinggal kamu dan segala kesakitan yang kamu toreh juga kamu torehkan selama ada di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H