Matahari sempurna tenggelam, menyisakan semburat oranye di langit barat. Kamu memutuskan untuk naik ke rumah pohon, duduk di salah satu sudutnya yang terasa lebih sempit.Â
Celengan kaleng itu akhirnya kamu buka. Bentuknya seperti kaleng susu, tinggal dibuka bagian atas, tanpa harus merusak kalengnya atau mengeruk isinya dengan penggaris. Ayah memang merencanakan itu. Biar mudah dibuka oleh kei, jelasnya pada ibu.
Kamu menatap tumpukan uang itu dengan getir, satu tetes air mata lolos, menetes tepat ke dalam celengan. "Maafkan aku ayah." kamu membekap mulut, tak bisa lagi menahan tangis. Suara alarm ponsel menghentikan tangismu sejenak, jam 7 malam. Alarm batas berkeliaran di luar rumah.Â
Kamu tak cepat mematikannya, membiarkan alarm itu mati sendiri. Dulu kamu selalu cepat-cepat mematikannya lantas sambil menggerutu kamu bergegas pulang.Â
Ayah pasti sudah menunggu di gerbang untuk 'menyambutmu' walau kamu rasa itu seperti pengawasan dari satpam sekolah. Hari ini alarm itu sudah tak berguna. Tidak ada 'satpam' itu lagi yang akan menyambutmu.
Kamu lanjut membuka pesan whatsapp. Ayah, tertulis di bagian atas. Cepat pulang kei, hati-hati. Ayah menunggu. Satu lagi tetes air mata yang lolos, menetes di atas layar ponsel. Itu pesan terakhir darinya.Â
Pesan terakhir yang bahkan kamu acuhkan. Kei pulang yah, tolong kembali jangan pergi dulu. Kamu membalas pesan itu, berharap tanda centangnya akan berubah biru. Tapi tentu saja sia-sia, tanda centang itu akan selalu satu dan tak akan pernah berubah biru.
Suara serangga malam bersaut-sautan di luar sana. Malam semakin larut. Kamu berdiri di pintu gerbang. Sekali lagi menatap rumah tua itu, lantas menempelkan selembaran di pintu gerbangnya. RUMAH INI DIJUAL.
"Mungkin sebaiknya aku bermalam di rumahku saja malam ini, Ayah, Ibu, kei pamit, besok hari pernikahanku. Semoga kalian bisa menyaksikannya dari sana dan turut bahagia. Maafkan kei tidak bisa menjadi anak yang baik. Selamat tinggal."
Kamu berjalan menjauh, cahaya lampu jalan membentuk seluet tubuhmu yang sedikit bungkuk . Rumah ini mejadi akhir bagi kisahmu. Namun mungkin di lain hari akan membuka cerita baru bagi manusia lain. Selamat tinggal kamu dan segala kesakitan yang kamu toreh juga kamu torehkan selama ada di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H