Mohon tunggu...
Nenden SuryamanahAnnisa
Nenden SuryamanahAnnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Hanya seseorang yang sedang belajar menulis dan belajar menyampaikan opininya lewat tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku (Tidak) Benci perintah-Nya

8 April 2021   13:53 Diperbarui: 8 April 2021   13:59 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ruangan putih berukuran 2x3 meter itu sunyi. Meja kecil di tengah ruangan itu menopang sebuah koper mini berwarna abu. Farhan terus memperhatikan koper kecil yang tertutup itu. Mencoba menebak isinya.

Suara decit pintu terdengar dari kiri Farhan, ia refleks menengok. Seorang pria bertinggi sama dengannya masuk, matanya menyipit. Sepertinya, ia sedang tersenyum sopan pada Farhan. Entahlah, masker medis menutupi setengah wajahnya.

Lelaki itu duduk di depan Farhan. Farhan tersenyum kikuk. "Farhan Muhammad, umur 37 tahun, pekerjaan karyawan swasta. Benar?" Lelaki itu mengalihkan pandang dari tablet ke "pasien"nya, menunggu jawaban. Farhan mengangguk ragu. Suara "Profesor" di hadapannya terdengar sangat familier.

"Saya lihat gaji Anda cukup besar, dengan pekerjaan yang cukup bergengsi. Pilihan di masa lalu mana yang ingin Anda ubah?" Farhan menunduk, ragu menjawab.

"Aku ingin membantah satu perintah ibuku, perintahnya itu selalu membuat aku menjadi penonton dari kesuksesan sahabatku." Suara Farhan sedikit bergetar di ujung kalimatnya.

Profesor itu mengangguk-angguk pelan. Ia memutar koper di atas meja, memposisikannya horizontal lantas membukanya. Kaca bening menutupi bagian dalam koper. Mata Profesor itu menyipit lagi, melihat ekspresi Farhan yang kebingungan.

"Perintah ibu Anda yang mana yang akan Anda bantah, Farhan?" Profesor itu menempelkan telapak tangannya di atas kaca bening. Cahaya biru menyelimuti kaca bening itu, bersamaan dengan dinding ruangan tersebut. Pandangan Farhan berkeliling mengikuti arah cahaya biru bergerak, lantas berakhir menatap Profesor yang menunggu jawaban.

"Perintah untuk salat duha 20 tahun lalu" Farhan menjawab gagap.

---

Suara gemuruh tepuk tangan mengisi auditorium. Flash kamera tak berhenti menembak ke arah panggung. 09.30. Farhan baru saja kembali ke kursinya setelah mengantar ibu salat duha di mushola sekolah. Celana abu yang Farhan gunakan sedikit basah di ujungnya, bekas cipratan air wudu tadi. Ibu bertepuk tangan, ikut bangga melihat sahabat Farhan berpidato di depan seluruh orang tua murid sebagai lulusan terbaik sekolah.

"Ayo makan, dek Aziz! Ibu masak banyak hari ini, syukuran kelulusan SMA, sekalian syukuran masuk UI buat kalian berdua" Ibu menyodorkan ikan goreng ke piring Aziz. Aziz berterimakasih, lantas melirik ke arah Farhan.

"Padahal nilai rapot Aziz sama Farhan cuman beda sedikit, bu. Beda hasil di ujian fisika. Pas ujiannya Farhan malah izin ke kamar mandi, mau salat duha katanya, jadi ajah ga keisi satu soal, waktunya kurang." Ibu tertawa di akhir kalimat Aziz. "Ga apa-apa, asal Farhan nurut sama ibu, ibu mah tetep bangga" ibu tersenyum sembari Menepuk-nepuk punggung Farhan.

Dua tahun berlalu, Farhan dan Aziz sibuk menjalani rutinitas sebagai mahasiswa. Mengejar nilai IPK, berorganisasi dan segala kesibukan melatih softskill dan hardskill yang menghabiskan banyak waktu mereka.

09.30. Farhan berlari menaiki tangga ke lantai enam. Lift di setiap lantai penuh antrean. Pertemuan hari ini sangat penting, membahas program khusus buatan Rektor. Program yang sangat berpengaruh bagi karier Farhan ke depan. Banyak tim yang mendaftar, termasuk tim Aziz, namun tim Farhan yang terpilih. Sialnya, jadwal pertemuan penting itu jam 9 pagi, waktu salat duha Farhan.

Ibu akan mogok makan kalau tahu Farhan tidak salat duha tepat waktu. Itulah alasan utama Farhan memilih terlambat di pertemuan penting itu.

Tepat saat Farhan sampai di depan pintu Kantor Rektor, Aziz menyodorkan sebuah dokumen berkliping merah padanya. "Timmu didiskualifikasi, Pak Rektor yang sekarang sangat disiplin Farhan, kamu tahu itu kan? Dia langsung suruh tim aku jadi penggantinya." Farhan terduduk lemas di kursi depan Kantor Rektor, begitu juga anggota tim Farhan lainnya. Aziz menepuk punggung Farhan, menenangkan.

Enam bulan berlalu, Farhan dan Aziz diterima di perusahaan yang sama namun dengan jabatan yang berbeda. Aziz berhasil naik jabatan menjadi wakil direktur hanya dalam dua tahun. Sedangkan Farhan masih ada di jabatan yang sama. 30 menit yang Farhan luangkan untuk salat duha, sukses membuat karir Aziz maju lebih depan darinya.

Untuk kali kedua Farhan duduk di kursi penonton, lagi-lagi, mendengarkan pidato Aziz, namun kali ini dalam acara kenaikan pangkatnya. Farhan menghembuskan nafas pasrah. Ia pergi sebelum acara selesai.

---

"Apa Anda yakin dengan keputusan Anda, Farhan?" Farhan mengangguk. Kaca bening itu menampilkan visual dua tombol, hijau dan merah. Dengan tulisan "ganti" di bawah tombol hijau dan "tetap" di bawah tombol merah.

Farhan mengulurkan tangannya ragu. Lantas menekan dengan hati-hati tombol hijau. Kaca bening dan dinding-dinding ruangan itu kembali bersinar biru, kemudian gelap.

---

Riuh suara tepuk tangan mengisi auditorium, Farhan ada di atas panggung, flash kamera tak berhenti tertembak padanya. 09.30. Ibu kembali ke tempat duduknya, wajahnya sedikit sendu. Aziz dan kedua orang tuanya ada di sebelah ibu. Nasib Farhan berubah, tidak ada lagi ujian fisika yang kurang satu jawaban.

---

Ruangan putih itu menyala kembali. Farhan memburu nafas, tangan Farhan memegangi kepalanya yang berdenyut. Namun, Farhan tersenyum puas.

Farhan menjulurkan tangannya kembali, berniat menekan tombol hijau lagi. Profesor itu menahan gerakan tangan Farhan. "Apa Anda yakin ingin mengubahnya lagi?" Farhan tergelak sejenak. "Tentu saja, nasibku berubah setelah menekan tombol hijau ini, kan?" Farhan menekan tombol hijau itu, Kaca bening dan dinding-dinding ruangan itu kembali bersinar biru, kemudian gelap.

---

09.30. Farhan keluar dari ruangan Pak Rektor dengan wajah bahagia. Aziz ada disana, menyambut Farhan dengan pelukan selamat.

Dua tahun berlalu, Farhan diangkat menjadi wakil direktur di tempat ia dan Aziz bekerja. Farhan lagi-lagi ada di depan, berpidato di acara kenaikan pangkatnya. Aziz ada disana, tersenyum bangga. Namun ibu tidak ada disamping Aziz, ia menolak hadir.

Farhan sangat sibuk sekarang. Pukul 09.30, ia tetap bekerja. Profesional dan totalitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan jabatannya. Semakin lama, salat duha sudah tidak akrab lagi dengan Farhan. Namun, ia tak terganggu dengan itu, lagi pula salat lima waktu masih Farhan jaga, yang ia tinggalkan hanya salat sunnah bukan? Bisik batin Farhan, membela diri.

---

Farhan memburu nafas, peluh mengucur dari balik bajunya. Farhan tertawa di antara deru nafasnya sembari menyenderkan tubuhnya di penyangga kursi.

"Apa aku masih bisa menekan tombol hijau itu lagi Profesor?" Farhan bertanya dengan tawa yang masih tersisa di nada kalimatnya. "Kalau saya boleh tahu, mengapa Anda ingin melanggar perintah ibu Anda lagi?" tatapan Profesor terlihat menyelidiki.

Farhan membenarkan posisi duduknya. "Hari ini, ibu datang ke kantor. Dia memaksa untuk salat duha bersamaku. Aku mengiyakan. Tak tega melihat tubuhnya yang semakin kurus karna mogok makan. Sialnya, saat aku menemani ibu salat duha, seorang investor terkenal  datang ke kantor.

09.30, saat aku kembali, sekretaris pribadiku bilang bahwa investor itu membatalkan kontraknya. Hari ini harusnya aku dipecat tapi karna aku sekarang wakil direktur, direktur utama hanya memotong gajiku. Jika itu diperbaiki, gajiku tidak akan dipotong, bukan?"

Profesor itu diam sejenak, mengangguk-angguk, mencoba paham. Lantas mengiyakan permintaan Farhan. "Tapi ingat! Anda tidak bisa mengubah lagi masa lalu yang telah Anda ubah hari ini, Farhan." Farhan mengangguk, lantas menekan lagi tombol hijau itu. Untuk kali keempat ruangan itu bercahaya biru beberapa detik, kemudian gelap.

Belum lima menit, ruangan kembali menyala. Farhan memburu nafas lebih ganas, kali ini bukan hanya peluh yang mengucur tapi juga air mata.

---

09.30. Setelah salat duha di musola kantor tanpa di temani Farhan, Ibu bergegas pulang. Cairan bening tak berhenti keluar dari matanya. Ibu memilih berjalan kaki, ia takut merepotkan anaknya lagi.

Belum sampai setengah perjalanan. Mobil Alpard hitam melesat cepat menabrak ibu saat menyeberangi jalan sepi. Tubuh ibu terpelanting jauh. Seketika darah segar membasahi aspal. Seorang Investor terkenal mengumpat dari dalam mobil, lantas melirik arloji.

"Kirim ambulans kemari, beri uang tutup mulut pada keluarganya, saya tidak ada waktu untuk mengurus hal ini" Mobil Alpard hitam itu melanjutkan perjalanan menuju gedung perusahaan yang berada tak jauh dari sana.

Tepat saat ambulans sampai di lokasi, Farhan sedang sibuk menandatangi kontrak dengan investor terkenal itu. Dan tepat saat nafas ibu Farhan terakhir berhembus, Farhan di kantornya tersenyum bahagia mendapat bonus berkali lipat.

---

Farhan keluar ruangan dengan ekspresi tak karuan. ia melihat antrean "pasien" yang tak sabar menunggu giliran. Wajah mereka berseri, membayangkan nasib baik yang akan segera menghampiri.

Profesor itu juga keluar ruangan, menyusul Farhan lantas menyejajari langkahnya yang gontai "Kau tahu, ada satu pilihan yang tak pernah hilang digerus waktu bahkan balasan dari pilihan ini pasti akan menguntungkanmu di kehidupan abadi kelak."

Farhan mengangkat wajahnya, balas menatap Profesor yang sudah melepaskan maskernya itu. Mata Farhan melotot, tubuhnya mundur ke belakang. Wajah itu persis sama seperti yang ia lihat setiap pagi di depan kaca.

"Siapa kau?!" Pekik Farhan ketakutan. "Itu tidak penting, kau mau tahu pilihan apa itu?" Farhan mengangguk takut-takut.

"Pilihan untuk mengikuti perintah-Nya" Lelaki itu mengangkat jari telunjuknya ke langit, Farhan refleks mendongkak. Alarm arloji Farhan dan lelaki itu bunyi bersamaan. 09.00. Mereka saling melempar pandang. Profesor itu berjalan meninggalkan Farhan lantas hilang di kelokan.

Farhan memutar langkah ke musola, melaksanakan salat duha. Salat duha paling khusyu dan paling ikhlas yang pernah ia rasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun