Riuh suara tepuk tangan mengisi auditorium, Farhan ada di atas panggung, flash kamera tak berhenti tertembak padanya. 09.30. Ibu kembali ke tempat duduknya, wajahnya sedikit sendu. Aziz dan kedua orang tuanya ada di sebelah ibu. Nasib Farhan berubah, tidak ada lagi ujian fisika yang kurang satu jawaban.
---
Ruangan putih itu menyala kembali. Farhan memburu nafas, tangan Farhan memegangi kepalanya yang berdenyut. Namun, Farhan tersenyum puas.
Farhan menjulurkan tangannya kembali, berniat menekan tombol hijau lagi. Profesor itu menahan gerakan tangan Farhan. "Apa Anda yakin ingin mengubahnya lagi?" Farhan tergelak sejenak. "Tentu saja, nasibku berubah setelah menekan tombol hijau ini, kan?" Farhan menekan tombol hijau itu, Kaca bening dan dinding-dinding ruangan itu kembali bersinar biru, kemudian gelap.
---
09.30. Farhan keluar dari ruangan Pak Rektor dengan wajah bahagia. Aziz ada disana, menyambut Farhan dengan pelukan selamat.
Dua tahun berlalu, Farhan diangkat menjadi wakil direktur di tempat ia dan Aziz bekerja. Farhan lagi-lagi ada di depan, berpidato di acara kenaikan pangkatnya. Aziz ada disana, tersenyum bangga. Namun ibu tidak ada disamping Aziz, ia menolak hadir.
Farhan sangat sibuk sekarang. Pukul 09.30, ia tetap bekerja. Profesional dan totalitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan jabatannya. Semakin lama, salat duha sudah tidak akrab lagi dengan Farhan. Namun, ia tak terganggu dengan itu, lagi pula salat lima waktu masih Farhan jaga, yang ia tinggalkan hanya salat sunnah bukan? Bisik batin Farhan, membela diri.
---
Farhan memburu nafas, peluh mengucur dari balik bajunya. Farhan tertawa di antara deru nafasnya sembari menyenderkan tubuhnya di penyangga kursi.
"Apa aku masih bisa menekan tombol hijau itu lagi Profesor?" Farhan bertanya dengan tawa yang masih tersisa di nada kalimatnya. "Kalau saya boleh tahu, mengapa Anda ingin melanggar perintah ibu Anda lagi?" tatapan Profesor terlihat menyelidiki.