Mohon tunggu...
Nema annisfitria
Nema annisfitria Mohon Tunggu... Freelancer - New

Hi there

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis terhadap Kejahatan Perdagangan Manusia (Human Trafficking) sebagai Lintas Batas Negara

3 Desember 2021   02:31 Diperbarui: 3 Desember 2021   02:38 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perdagangan manusia adalah salah satu bentuk perbudakan modern yang terjadi di tingkat nasional dan internasional, dengan perkembangan teknologi, komunikasi dan informasi, terjadi dalam berbagai cara baru. Misalnya, munculnya pengantin pesanan dengan tujuan mencari keuntungan komersial. Perdagangan manusia sudah menjadi kejahatan transnasional yang sudah melanda semua negara di dunia dari dulu sampai sekarang. 

Belakangan, beberapa konvensi internasional dibentuk untuk mengatur hal ini. Diantaranya adalah Konvensi Internasional 1921 untuk Pemberantasan Perdagangan Budak Putih, Konvensi Internasional 1921 untuk Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak, Konvensi Internasional 1933 tentang Penindasan Perdagangan Perempuan Segala Usia, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) 1979. 

Dari beberapa konvensi internasional yang telah diratifikasi, bagi negara-negara di dunia karena jumlah kasus yang terus meningkat, tidak ada satu negara pun yang benar-benar dapat menyelesaikan atau bahkan menghapuskan perdagangan manusia.

Sejauh ini, lembaga pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat belum menyepakati definisi perdagangan manusia. Padahal, upaya telah dilakukan sejak akhir abad ke-18. Menurut definisi Global Alliance to Combat Trafficking in Women (GAATW), perdagangan manusia adalah “semua tindakan yang melibatkan perekrutan dan/atau pengangkutan seseorang di dalam dan di luar negeri”.

Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) telah mengidentifikasi empat elemen yang harus ada dalam perdagangan manusia, yaitu:

1. Perbatasan internasional memiliki biaya

2. Ada promotor-pedagang yang terlibat

3. Mata uang atau metode pembayaran lainnya berpindah tangan, dan

4. Masuk dan/atau tinggal di negara tujuan adalah ilegal

Indonesia sendiri mendefinisikan perdagangan manusia dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yaitu:

“Melalui ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemenjaraan, penipuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ijon, atau pemberian pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang menguasai orang lain, baik dalam atau antar negara Tujuannya adalah untuk mengeksploitasi atau menyebabkan orang dieksploitasi."

Definisi di atas merupakan salah satu bentuk perdagangan manusia, termasuk berbagai perilaku ilegal yang mencari keuntungan bagi satu kelompok melalui cara-cara ilegal dan kemudian merugikan kelompok lain.

Bentuk perdagangan manusia yang terjadi di suatu negara dengan negara lain tentu punya karakteristik yang berbeda, tapi secara umum bentuk-bentuk nya meliputi: eksploitasi seksual, kerja paksa, perbudakan yang ada di dalam rumah tangga, adopsi anak antar negara secara ilegal, penjeratan hutang, pengantin pesanan dan perdagangan organ tubuh manusia. Harkristuti Harkrisnowo mengatakan beberapa yang tercatat dari temuan dilapangan adalah sebagai berikut :

1. Pengiriman TKI keluar negeri tanpa adanya dokumen resmi atau dengan dokumen resmi yang dipalsukandan dengan berkedok berbagai kegiatan legal, misalnya, “misi kebudayaan”;

2. Penempatan tenaga kerja di dalam negeri untuk dieksploitasi secara seksual;

3. Penyelenggaraan perkawinan berbatas waktu hanya untuk melegalisasi hubungan seksual yang dimaksud untuk jangka waktu tertentu dengan mendapat kompensasi finansial (kawin kontrak) yang biasanya dilakukan oleh laki-laki pekerja asing dengan perempuan Indonesia

4. pelaksanaan perkawinan antar negara melalui pesanan (mail-order bride) dan si pengantin perempuan sama sekali tidak mengetahui kondisi sebenarnya dari calon suami;

5. Perekrutan anak-anak untuk menjadi pekerja di jerman dengan upah yang sangat minim, kondisi kerja yang mengancam kesehatan tubuh, mental serta moral mereka;

6.Pengangkatan anak bayi tanpa proses yang benar (due proces of Law)

contoh pada sepanjang tahun 2004 sampai dengan 14 Maret 2005 pemerintah telah memulangkan sedikitnya 120 orang korban perdagangan orang dan 347.696 tenaga kerja Indonesia (TKI) bermasalah dari malaysia.

Secara internasional, ada beberapa konvensi yang mengatur tentang perdagangan manusia yang menginginkan peran aktif negara dalam mencegah, melindungi dan melakukan penegakan hukum terhadap kegiatan perdagangan manusia yang terjadi dinegaranya, diantaranya International Convention for The Suppression of White Slave Traffic Tahun 1921, International Convention for the Suppression of Traffic in Women and Children Tahun 192, International Convention for the Suppression of Traffic in Women of Full Age Tahun 1933 dan Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women, CEDAW tahun 1979.

Pengaturan tentang perlindungan korban perdagangan manusia juga di atur dalam Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children, Supplement the United Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime) tahun 2000. Di Indonesia sendiri, pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan untuk menanggulangi dan menegakkan hukum yang berkaitan dengan perdagangan manusia yakni Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-undang ini memberikan hukuman pidana berlapis tidak hanya pidana penjara bagi si pelaku tindak pidana tetapi juga mengenakan pidana denda. Berkaitan dengan perlindungan korban perdagangan manusia ini juga berlaku undang-undang nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disamping perlindungan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ini.

Dengan adanya Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All From of Discrimination Againts Women, CEDAW) pada tahun 1979, isu perdagangan orang kembali muncul seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap hak asasi perempuan, sejak saat itu perdagangan manusia terutama perdagangan perempuan menjadi perhatian global. 

Dengan adanya Konvensi ini dapat diharapkan adanya penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dapat diterima oleh negara pihak dan menjadi dasar negara pihak bisa membuat undang-undang yang tepat dan juga bisa menerapkan konvensi tersebut di negara masing-masing sebagai bentuk penghormatan terhadap kesepakatan yang dihasilkan pihak konvensi. 

Selain CEDAW 1979, Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress ang Punish Trafficking in Person, Especially Women and Children, Supplement the United Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime) Protokol tentang mencegah, menindak dan menghukum pelaku perdagangan orang khususnya perempuan dan anak melengkapi eksistensi United Nation Convention Againtst Transnational Organization Crime tahun 2000 lebih jelas mengatur tentang perlindungan korban perdagangan manusia.

Protokol ini khusus mengatur perlindungan korban perdagangan yang meliputi bantuan dan perlindungan bagi korban, status korban ketika berada di negara penerima, dan pemulangan ke negara asal mereka.

Kerjasama antar negara dapat memberikan keringanan terhadap tindak pidana perdagangan manusia. Beberapa negara sepakat untuk memberantas, menanggulangi, dan memberi bantuan kepada para korban dengan cara menampung kemudian mengembalikan atau memulangkan korban dengan dana oleh negara penerima. 

Di Indonesia pemberian perlindungan terhadap korban perdagangan manusia diatur dalam beberapa pasal seperti pada Pasal 44 Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Manusia, lalu Pasal 54 tentang adanya kewajiban bagi negara melindungi korban berada di luar negeri yang memerlukan perlindungan hukum akibat tindak pidana perdagangan manusia. 

Jika dilihat dari peraturan perundang-undangan, UU Nomor 21 Tahun 2007 sudah lebih baik, mengingat konsep perlindungan korban tidak hanya berotientasi pada potenisl victim namun juga pada actual victim. Harapan setiap negara untuk menanggulangi tindak pidana perdagangan orang dan bagaimana cara terbaik memperlakukan korban sudah diterima banyak negara dengan cara meratifikasi perjanjian internasional yang terkait baik dalam bentuk konvensi, protokol maupun perjanjian yang bersifat bilateral maupun multilateral.

Sumber :

https://123dok.com/document/z3jxl68y-tinjauan-yuridis-kejahatan-perdagangan-manusia-traffikking-sebagai-kejahatan.html

https://jurnalretrieval.hukum.uns.ac.id/index.php/jurnalretrieval/article/download/7/6/32

https://www.solidaritycenter.org/wp-content/uploads/2015/03/Indonesia.When-They-Were-Sold.2006Thai.Ketika_mrk_djual.pdf

https://www.researchgate.net/publication/338726795_KEBIJAKAN_PENANGANAN_KASUS_HUMAN_TRAFFICKING_DI_UKRAINA_MELALUI_PERAN_INTERNATIONAL_ORGANIZATION_FOR_MIGRATION

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun