Hutan adalah jenis sumber daya alam yang menempati posisi strategis yang sangat penting dalam negara dan kehidupan negara. Di Indonesia sendiri dari 191 juta hektare lahan, sekitar dua pertiganya merupakan kawasan hutan dengan ekosistem yang beragam dari hutan tropis dataran rendah dan hutan dataran tinggi, hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar, dan hutan Mangrove.
Pembukaan lahan (Lanclearing) merupakan kegiatan membuka lahan baru untuk sawah, ladang, dan kebun masyarakat termasuk pemeliharaan dan pembersihannya. Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan secara tegas dilarang dalam peraturan perundang-undangan mana pun. Namun ketentuan ini dapat dikecualikan bagi masyarakat yang melakukan pembukaan lahan dengan memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Kearifan lokal yang dimaksud yaitu melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal dua hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Ini artinya, membuka lahan dengan cara membakar diperbolehkan dengan persyaratan tertentu.
Kebakaran hutan dan lahan selain dikarenakan faktor alam, juga dapat terjadi karena faktor manusia. Faktor alam karena percikan api yang ditimbulkan oleh bergeseknya antar bagian pohon yang sudah kering, pepohonan tersambar petir, dan lahar letusan gunung berapi. Faktor manusia karena membuang sembarangan puntung rokok yang belum benar-benar padam, meninggalkan bekas api unggun tanpa memastikannya telah padam seluruhnya, atau pembukaan lahan dengan cara membakar sebagian area hutan untuk difungsikan sebagai sawah, perkebunan tanaman pangan, kelapa sawit, atau tanaman lainnya.
Kebakaran hutan dan lahan dari tahun ke tahun selalu menjadi masalah di Indonesia. Kebakaran sering kali terjadi di kawasan-kawasan yang telah diterbitkan izin pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan.Â
Pembukaan lahan dengan cara membakar hutan banyak menimbulkan dampak negatif, antara lain permasalahan mengenai polusi udara hasil pembakaran hutan. Salah satu provinsi di Indonesia yang mengalami permasalahan polusi udara dari kebakaran hutan adalah provinsi Riau (Pekanbaru). Bahkan karena letak provinsi Riau (Pekanbaru) yang dekat dengan negara Malaysia, menjadikan negara tersebut sering kali ikut terkena asap dari kebakaran hutan di Riau (Pekanbaru) sehingga dapat mengganggu hubungan diplomasi antar kedua negara, akibat polusi udara tersebut juga dapat mengakibatkan penyakit Saluran Pernapasan Bagian Atas (ISPA).
Dari aspek ekonomi, kerugian akibat kebakaran dapat berupa rusak atau hilangnya nilai tegakan hutan terutama kayu maupun tegakan tanaman perkebunan, hilangnya keindahan bagi kepentingan wisata disisi lain juga terganggunya transportasi (darat, laut, dan udara) dalam distribusi barang dan aktivitas ekonomi lainnya.Â
Dari aspek ekologis, kebakaran hutan, kebun, lahan mengakibatkan rusak dan terganggunya ekosistem hutan dan fungsi-fungsinya, berkurangnya keanekaragaman hayati dan hilangnya keterwakilan ekosistem daerah tersebut. Kebakaran hutan juga mempercepat punahnya flora dan fauna yang ada di hutan, kebakaran hutan membunuh jasad renik di permukaan dan lapisan atas tanah, Vegetasi bawah pada umumnya juga terbakar sehingga banyak jenis flora hilang, beberapa jenis mungkin lenyap untuk selamanya. Kebakaran juga merusak sarang tempat berlindung satwa liar dan makanan satwa, bahkan kebakaran secara langsung juga dapat membunuh satwa liar yang tidak dapat menyelamatkan diri. Dari aspek sosial, sekolah diliburkan dan tidak bisa beraktivitas di luar rumah seperti biasa.
Seperti yang kita ketahui dasar hukum mengenai pembukaan hutan diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan, diatur dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, diatur juga dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan kemudian peraturan perundang-undangan yang baru UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.Â
Pertanyaan yang timbul adalah dari sekian banyak peraturan perundang-undangan yang ada, peraturan manakah yang berlaku dalam menangani pembukaan lahan dengan cara membakar hutan? Di hukum sendiri terdapat adagium yang berbunyi Lex Posterior Derogat Legi Priori yang artinya peraturan baru mengesampingkan peraturan yang lama, sehingga jika terjadi perubahan terhadap suatu peraturan perundang-undangan, peraturan perundang-undangan yang baru yang digunakan sebagai acuan, sehingga dalam hal pembukaan lahan ini digunakan peraturan perundang-undangan yang baru yaitu UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam UU Cipta Kerja sendiri melarang keras membuka lahan dengan cara membakar, kecuali bagi masyarakat yang memperhatikan sungguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Namun pada beberapa kasus tertentu, celah peraturan ini justru dimanfaatkan dan ditunggangi oleh oknum pembakar hutan tertentu untuk lolos dari jerat hukum. Penegakan hukum terhadap kepala keluarga yang melanggar tata cara membakar hutan dengan cara kearifan lokal dapat dilaksanakan oleh masyarakat adat. Penegakan hukum oleh masyarakat adat (dewan adat) dilakukan dengan memberi sanksi pidana adat. Penegakan hukum positif dilakukan ketika masyarakat adat belum/tidak menjatuhkan sanksi pidana adat terhadap kepala keluarga yang melanggar ketentuan kearifan lokal.
Sehingga dalam pembukaan lahan dengan cara dibakar berdasarkan kearifan lokal diperlukan adanya kebijakan khusus Pemerintah terkait penetapan wilayah perladangan tradisional yang diintegrasikan dalam RTRWP/RTRWK pada masing-masing daerah yang masih memiliki tradisi dan mempraktikkan perladangan tradisional. Lalu perlu adanya kegiatan pemetaan wilayah berbasis tipe ekosistem (Lowland & Upland), inventarisasi sebaran spasial dan jumlah peladang tradisional termasuk jenis komoditas yang dibudidayakan, teknologi serta kearifan yang dipakai di dalam praktik perladangan tradisional, dalam rangka penyusunan basis data (database) terkait perladangan tradisional.
Kemudian perlu adanya peningkatan dan penguatan program dan anggaran, pemberdayaan, introduksi dan alih teknologi pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB), akses kelola hutan, pendampingan intensif dan lain-lain dari pemerintah, swasta dan lain-lain, yang lebih berpihak pada kelompok peladang tradisional. Perlu adanya dukungan dan pembuatan petunjuk-petunjuk teknis dan prosedur operasi standar (SOP) tentang pengolahan dan peningkatan produktivitas lahan agar diintroduksi dan diaksentuasikan kepada peladang tradisional. Lalu juga perlunya eksaminasi keseluruhan produk hukum yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan, serta bagaimana implementasinya di lapangan oleh para pihak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H