Mohon tunggu...
Nelly putri
Nelly putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya memiliki hobi yang berkaitan dengan alam, saya sangat suka naik gunung dan diving untuk melihat keindahan - keindahan yang semesta beri.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Paniai: Krisis Kepercayaan dalam Pelanggaran HAM

24 Oktober 2022   23:52 Diperbarui: 12 Januari 2023   12:47 477
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Papua menuntut penyelesaian kasus Paniai Berdarah pada Senin (15/12/2021). (Sumber: Warta Kota/Henry Lopulalan)

Rabu 28 September 2022, Pengadilan Negeri (PN) Makassar kembali menggelar sidang kasus Paniai yang terjadi pada 7 Desember 2014 silam.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah menetapkan bahwa peristiwa Paniai tersebut merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat.

Kejadian ini bermula saat kelompok pemuda menegur anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang membawa mobil tanpa menyalakan lampu. Namun, teguran ini ternyata menyebabkan pertengkaran yang berujung penganiayaan oleh TNI.

Sehari setelahnya, 8 Desember 2014, rombongan masyarakat Ipakiye mendatangi Polsek Paniai dan Koramil untuk meminta penjelasan atas kasus yang telah terjadi.

Namun, masyarakat merasa tidak mendapatkan tanggapan dan memicu ketegangan situasi yang memanas. Akibatnya, masyarakat melakukan aksi pelemparan batu pada pos polisi dan pangkalan militer. Menanggapi aksi ini, aparat malah melakukan penembakan untuk membubarkan massa yang mengakibatkan tewasnya beberapa warga sipil.

Dalam sidang tersebut, Jaksa mengungkapkan bahwa terdapat empat orang tewas, tujuh menderita luka tembak, dua luka robek, dan satu lainnya luka iris.

Jaksa penuntut umum menetapkan Mayor Infanteri Purnawirawan Isat Sattu selaku mantan Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai sebagai terdakwa.

Hal ini dikarenakan terdakwa yang memiliki kewenangan secara efektif bertindak sebagai komandan militer tidak melakukan tindakan yang layak untuk mencegah dan menghentikan anggotanya yang melakukan penembakan dan kekerasan sehingga mengakibatkan empat orang tewas.

Berdasarkan uraian kasus di atas, dapat dilihat bahwa terdapat empat unsur pelanggaran HAM yang terjadi dalam kasus ini, yaitu hak untuk hidup, hak untuk bebas, hak dari seorang anak, dan hak untuk perempuan.

Dilansir dari BBC (19/02/2020), Komnas HAM berpendapat bahwa pelaku pelanggaran HAM di Paniai berasal dari aparat TNI yang menyebabkan terjadinya kasus penembakan dalam aksi damai tersebut.

Pelanggaran HAM merupakan salah satu permasalahan yang paling sulit diselesaikan di Indonesia. Pelanggaran HAM berat sendiri telah diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 yang memaparkan bahwa pelanggaran HAM berat mencakup kategori kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pelanggaran HAM berat masuk ke dalam jenis kejahatan luar biasa atau yang biasa disebut dengan Extra Ordinary Crimes.

Pelanggaran ini diduga dapat menyebabkan kerugian material maupun immaterial yang memicu perasaan tidak aman bagi perseorangan maupun kelompok masyarakat. Untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM berat, diperlukan adanya pengadilan khusus untuk menegakkan keamanan dan perdamaian.

Hingga saat ini, baru terdapat empat pengadilan HAM yang ada di Indonesia yaitu Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Negeri Makassar.

Untuk mengadili kasus pelanggaran HAM berat, terdapat dua klasidikasi yang ditentukan yaitu Pengadilan HAM dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Perbedaannya adalah pengadilan HAM dibentuk untuk melakukan pengadilan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran HAM berat di masa mendatang, sedangkan pengadilan HAM Ad Hoc dilakukan untuk mengadili para pelaku yang melakukan pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Dilansir dari Tempo (16/02/2020), penetapan kasus pelanggaran HAM di Paniai dilakukan dengan pengadilan HAM Ad Hoc yang diputuskan dalam sidang paripurna.

Di Indonesia, Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk berdasarkan pada usulan DPR dengan memperhatikan locus dan tempus deliciti dari peristiwa yang terjadi. Selain itu, usulan ini harus berdasarkan pada hasil penyelidikan dari Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung.

Jika Komnas HAM telah mengumpulkan bukti penyelidikan dan Kejaksaan Agung juga telah mengumpulkan bukti lanjutan dari penyidikan, maka DPR harus memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk mengeluarkan keputusan Presiden agar terdapat kepastian hukum sesuai asas dasar pembentukan pengadilan HAM Ad Hoc ini.

Penyelesaian Kasus HAM berat di Paniai ini dapat terjadi apabila keselarasan antar lembaga yang bersangkutan terpenuhi. Namun, perbedaan lembaga yang menangani kerap memicu kekhawatiran tersendiri seperti (1) wewenang tahap penyelidikan yang diberikan pada Komnas HAM; (2) wewenang tahap penyidikan dan penuntutan yang diberikan pada Kejaksaan Agung; dan (3) wewenang tahap pengadilan yang diselesaikan oleh Mahkamah Agung.

Kekhawatiran ini muncul akibat adanya indikasi perbedaan visi dalam masing-masing lembaga. Oleh karena itu, diperlukan adanya penyelarasan visi antar lembaga agar kasus pelanggaran HAM terutama tragedi Paniai dapat terselesaikan dengan baik.

Sayangnya, dalam kasus ini keluarga korban tetap tidak percaya bahwa sidang yang dilakukan akan membawa keadilan bagi mereka. Berdasarkan informasi dari VOA (21/09), Tineke Rumkabu selaku Ketua organisasi korban pelanggaran HAM (Bersatu Untuk Kebenaran) kembali mempertanyakan satu terdakwa di pengadilan.

Oleh karena itu, wajar jika keluarga korban mempertanyakan pelaku lain yang diduga turut terlibat. Yones Douw sebagai pengacara dan pendamping keluarga korban menilai negara sedang melindungi pelaku yang sebenarnya dalam kasus ini. Menurut Yones, proses pengadilan yang dilakukan hanya untuk memenuhi tuntutan dan memperbaiki nama baik Indonesia di tingkat internasional.

Pendeta Matheus Adadikam sebagai Direktur Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) menilai bahwa penolakan yang dilakukan oleh keluarga korban merupakan bentuk protes dalam proses persidangan. Muhammad Haedir sebagai Direktur LBH Makassar juga menegaskan bahwa pengadilan yang dilakukan memang tidak untuk mencapai.

Hal ini dikarenakan salah satu unsur pelanggaran HAM berat adalah tindakan yang terstruktur, sistematis, dan massif. Tindakan seperti ini tentu menimbulkan prasangka adanya ketidakmungkinan jika dilakukan oleh satu pelaku.

Julius Ibrani sebagai Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) juga menyayangkan tindakan Komnas HAM yang secara tidak langsung turut menjadi bagian dari penyelesian kasus ini. Komnas HAM melaporkan bahwa tidak terdapat rantai komando dalam kasus dakwaannya.

Padahal, Polri dan TNI adalah institusi yang bergerak atas komando dari atas. Dengan terputusanya rantai komando, dapat diprediksi bahwa pertanggungjawaban institusional dari aparat keamanan juga terputus.

Wirya Adiwera sebagai Deputi Direktur Amnesty International Indonesia pun menegaskan seharusnya persidangan kasus pelanggaran HAM berat Paniai ini dapat menjadi upaya Indonesia kepada seluruh pihak bahwa pemerintah benar-benar serius dalam menanganinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun