Mohon tunggu...
Neli Zakiyah
Neli Zakiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa UIKA Bogor

Pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Empati dalam Komunikasi Interpersonal di Lingkungan Sekolah

3 Januari 2024   13:21 Diperbarui: 3 Januari 2024   13:26 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Empati berasal dari kata pathos (dalam bahasa Yunani) yang berarti perasaan yang mendalam. Empati pada awalnya digunakan untuk menggambarkan suatu pengalaman estetika ke dalam berbagai bentuk kesenian. Empati berbeda dengan simpati. Perasaan simpati sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari yang menggambarkan perasaan seseorang kepada orang lain. Beda antara empati dan simpati adalah, bahwa simpati lebih memusatkan perhatian pada perasaan diri sendiri bagi orang lain, sementara itu perasaan orang lain atau lawan bicaranya kurang diperhatikan. Sedangkan empati lebih memusatkan perasaannya pada kondisi orang lain atau lawan bicaranya. Empati juga berhubungan dengan bagaimana orang lain merasakan diri saya, baik masalah saya maupun lingkungan saya (Asri Budiningsih, 2013).

Istilah empati pertama kali digunakan oleh Carl Rogers (dalam Pangaribuan, 1998) seorang tokoh psikologi humanistik. Istilah-istilah seperti kehangatan (warmth), kepedulian (compassion), rasa hormat (respect), penghargaan positif tanpa syarat (unconditional positive regard), ketulusan (genuineness), dan pemahaman (understanding) di dalam teorinya banyak digunakan oleh para peneliti. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk mengkomunikasikan pemahaman terhadap perasaan, pikiran, dan motif-motif orang lain.

Kata empati mengandung makna bahwa seseorang mencoba untuk mengerti keadaan orang lain sebagaimana orang tersebut mengertinya dan menyampaikan pengertian itu kepadanya (Hansen, dkk., 1982). Empati berarti masuk ke dalam diri seseorang dan melihat keadaan dari sisi orang tersebut, seolah-olah ia adalah orang itu. Menurut Dahlan, seseorang dikatakan memiliki empati jika ia dapat menghayati keadaan perasaan orang lain serta dapat melihat keadaan luar menurut pola acuan orang tersebut, dan mengkomunikasikan penghayatannya bahwa dirinya memahami perasaan, tingkah laku, dan pengalaman orang tersebut secara pribadi (Pangaribuan, 1993).

Carkhuff mengartikan empati sebagai kemampuan untuk mengenal, mengerti dan merasakan perasaan orang lain dengan ungkapan verbal dan perilaku, dan mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain. Empati merupakan dimensi yang penting dalam proses pemberian bantuan. Brammer mengartikan empati sebagai cara seseorang untuk memahami persepsi orang lain dari kerangka internalnya. Sedangkan menurut Rogers empati merupakan cara mempersepsi kerangka internal dari referensi orang lain dengan keakuratan dan komponen emosional, seolah-olah seseorang menjadi orang lain, tetapi masih menyadari kondisinya yang seolah-olah tadi (Pangaribuan, 1998). Empati dikatakan akurat jika pemahaman individu terhadap keadaan orang lain benar, dalam arti sesuai dengan penghayatan orang yang diberi empati.

Hurlock (1991) menjelaskan bahwa empati merupakan kemampuan seseorang untuk mengerti dan memahami perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri mengalami perasaan yang sama dengan orang tersebut.

Riess (2011) mengemukakan empati adalah kemampuan individu yang melibatkan proses kognitif dan afektif yang memungkinkan individu untuk menempatkan diri berada di posisi dan emosional orang lain. Kemampuan empati tersebut berupa respon emosional yang sangat menyerupai respon emosional orang lain, tanpa individu kehilangan kontrol dirinya (Taufik, 2012).

Berempati tidak hanya dilakukan dalam bentuk memahami perasaan orang lain semata, tetapi harus dinyatakan secara verbal dan dalam bentuk tingkah laku. Tiga tahap dalam berempati menurut Gazda, dkk., (1991) adalah:

  • Tahap pertama, mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan orang lain, bagaimana perasaannya, apa yang terjadi pada dirinya.
  • Tahap kedua, menyusun kata-kata yang sesuai untuk menggambarkan perasaan dan situasi orang tersebut.
  • Tahap ketiga, menggunakan susunan kata-kata tersebut untuk mengenali orang lain dan berusaha memahami perasaan serta situasinya.

Proses ini tidaklah mudah, tetapi jika sering dilakukan akan menjadi terbiasa (otomatis). Respon-respon empati akan berpengaruh terhadap orang yang diberi empati. Orang tersebut merasa didengarkan, diperhatikan, dipahami masalahnya, dan dihargai. Respon-respon yang bermakna akan melahirkan interaksi yang bermakna juga.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan penting dalam pergaulan adalah berempati, yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, menerima sudut pandang mereka, menghargai perbedaan perasaan orang terhadap berbagai macam hal, menjadi pendengar dan penanya yang baik. Kemampuan-kemampuan tersebut sebagai suatu seni bekerja sama dan untuk menghindari konflik. Empati mengarah kepada kepedulian, mementingkan orang lain dan belas (Asri Budiningsih, 2013).

Adapun komunikasi interpersonal dapat didefinisikan sebagai proses pertukaran informasi di antara seseorang dengan paling kurang satu orang lainnya atau biasanya di antara dua orang yang diketahui balikannya. Komunikasi interpersonal adalah proses membentuk hubungan dengan orang lain. Namun menurut Wood (2010: 21) menyatakan bahwa cara terbaik mendefinisikan komunikasi interpersonal adalah dengan fokus kepada apa yang terjadi bukan pada di mana mereka berada atau berapa jumlah mereka yang terlibat.

Merumuskan pengertian komunikasi interpersonal dapat dilakukan dengan mencari tahu makna dari interpersonal. Kata interpersonal adalah turunan dari awalan "inter" yang berarti "antara" dan kata "person" yang berarti "orang". Komunikasi interpersonal secara umum terjadi antara dua orang (Asri Budiningsih, 2013).

Komunikasi interpersonal menurut Bienvenu (1987) adalah sebuah kemampuan untuk memiliki konsep diri yang baik sehingga dapat mempengaruhi komunikasi, kemudian adanya kemampuan untuk mendengarkan isi dari komunikasi tersebut serta mampu mengekspresikan pikiran dan dapat mengatasi emosi terutama kemarahan dan memiliki keinginan untuk berkomunikasi dengan baik.

Devito (dalam Effendy, 2003) mengartikan komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang, atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa umpan balik seketika. Komunikasi interpersonal melibatkan kontak pribadi pada para pelakunya, sehingga tercipta komunikasi yang mendalam.

Menurut Deddy Mulyana (2000) komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal.

Setiap manusia memiliki kebutuhan yang harus dipenuhi dan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang beragam tersebut manusia perlu berkomunikasi. Hidup dalam suatu kelompok sosial tentu membutuhkan kontak dan interaksi dengan lain dan alat yang digunakan adalah komunikasi baik dengan kode-kode verbal maupun nonverbal. Dengan berkomunikasi manusia bisa bertahan hidup, mengembangkan pikiran dan penalaran, mengembangkan kepribadian, menjalin hubungan dan mengembangkan kebudayaan. Tanpa komunikasi sulit tercipta hal-hal tersebut (Novrion, 2016).

Kehidupan manusia tidak terlepas dari komunikasi, komunikasi menjadi alat interaksi sosial manusia sehingga saling berinteraksi dalam kehidupan di sekolah, rumah, di tempat bekerja, pasar, dan di mana saja manusia berada. Semua manusia menjalankan komunikasi dalam hidupnya (Ali Nurhadi & Fitrotun Niswah, 2019).

Singkatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan dua orang atau lebih, dalam dunia pendidikan khususnya sekolah berarti dilakukan antara pengajar yaitu guru dan pelajar yaitu siswa. Di dunia pendidikan komunikasi sangat penting, karena sebagai alat agar tercapainya tujuan pembelajaran yang efektif. Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu membawa siswa mencapai kompetensi yang diharapkan. Oleh karena itu guru dituntut memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dalam mengelola kelas sebagai fasilitator belajar siswa. Kaitannya dengan empati yaitu empati dinilai sebagai kemampuan untuk memudahkan proses komunikasi yang terjalin, misalnya antara guru dan siswa, guru dan kepala sekolah serta guru dan wali siswa.

Seperti dikatakan Carkhuff,  yang mengartikan empati sebagai kemampuan untuk mengenal, mengerti dan merasakan perasaan orang lain. Empati merupakan dimensi yang penting dalam proses pemberian bantuan. Hal ini sesuai dengan keadaan yang terjadi di lingkungan sekolah, di mana pelajar saat ini sangat membutuhkan bantuan moral, misalnya siswa yang terlibat tauran, siswa merokok dan sebagainya. Sebagai guru perlu berempati dalam kasus tersebut, empati yang dimaksud berarti peduli akan masa depannya, maka dengan cara berkomunikasi seperti bertanya mengapa melakukan hal itu, bagaimana hal itu bisa terjadi, guru akan mengetahui penyebab dan latar belakangnya, agar kemudian dilakukan tindakan yang sesuai dengan kasus tersebut. Misalnya memberi nasihat, itu dapat dilakukan sebagai bantuan untuk memperbaiki moral. Peranan empati dalam komunikasi interpersonal di lingkungan sekolah sangat diperlukan, agar guru mampu mengenal dan membimbing siswanya menuju tujuan pembelajaran yang diharapkan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun