Mohon tunggu...
Sid noise
Sid noise Mohon Tunggu... Buruh - Jangan Mau di Bungkam

Akun subsidi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Bukan Lagi Negara Santun?

5 Agustus 2020   01:25 Diperbarui: 5 Agustus 2020   01:30 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masyarakat indonesia terkenal ramah, sopan, cinta damai, santun dalam berkomunikasi termasuk basa basi halus. Tapi kenapa di era social media ini kata-kata kasar mudah sekali di temukan padahal tidak ada urusan dan kepentingan apa-apa tiba-tiba menghujat.

Dulu saya sempat heran ada anak kelas 2 SD yang bertanya pada saya, "Pak kenapa di internet orang-orang suka sekali ngomong kasar?"

Dalam hati saya pikir masa anak ini sudah suka nonton film dewasa? Takut salah sangka saya tanya lebih jelas lagi.

"Maksudnya ngomong kasar gimana, des?"

"Itu lho pak kalau di Facebook atau twitter apakah indonesia sudah kehilangan budaya santun dan ramahnya, emang bapak ga punya FB sama twitter ya?"

Ternyata dia membicarakan sosial media.

Masalahnya tidak ada kaitan dengan semangat santun bangsa indonesia yang memudar dan hal ini bukan terjadi di Indonesia saja, masalahnya adalah karena kita menghadapi masalah yang belum pernah kita hadapi sebelumnya dan masalah saya sendiri saya tidak punya akun sosial media, sampai sekarang komunikasi masih menggunakan yahoo mail.

Komunikasi itu bukan hanya verbal, dalam psikologi komunikasi verbal itu bahkan tidak sampai 50% dari komunikasi antar manusia sesungguhnya. Di luar itu ada komunikasi gestur, budaya dan lain sebagainya yang justru inilah yang membuat komunikasi itu sedikit lebih lancar.

Komunikasi yang kita kenal sekarang adalah hasil adaptasi ratusan ribu tahun dan gaya komunikasi kita sekarang sama sekali tidak mengantisipasi apa yang akan terjadi di medsos. Medsos sendiri baru muncul sekitar 20 tahunan sedangkan kita dan nenek moyang kita menghasilkan gaya komunikasi yang kita kenal ribuan tahun sebelum ada medsos.

Jadi ketika komunikasi sekarang di medsos ini baru tahap adaptasi seperti berkomunikasi sama alien karena medsos adalah gaya komunikasi yang tidak kita hadapi dan antisipasi sebelumnya. Ini sebabnya kita gagal dalam berkomunikasi.

Derida adalah seorang filsuf postmodern dia mengatakan, "Bahkan komunikasi kita sekarang pun masih menimbulkan banyak kesalahpahaman."

Ada banyak konflik dan keributan yang dihasilkan dari komunikasi yang salah. Gaya komunikasi yang sudah diadaptasi ratusan ribu tahun pun masih sangat rentan kesalahan apalagi komunikasi medsos yang baru hadir kemarin sore.

Ini fakta komunikasi yang bisa ditemukan dalam kehidupan berpasangan, maaf bagi yang jomblo kemungkinan tidak tahu kondisi seperti ini. Pasti anda sering bertengkar pada saat chatingan/saling berkirim pesan tetapi kemarahan itu luntur pada saat anda berdua bertemu.

Ngaku? Memang seperti itu bukan?

Karena komunikasi di HP itu sangat berbeda dengan komunikasi di dunia nyata sehingga kita mengalami cerita yang berbeda.

"Biar ga salah paham kita ketemuan aja ya." Budi, Murid berprestasi dan playboy.

Sekali lagi ini tidak ada hubungannya dengan lunturnya semangat budaya santun di Indonesia tetapi gagalnya kita membangun komunikasi dan tidak mengantisipasi komunikasi di media sosial.

Kenapa bisa seperti ini?

1. Psikologi Psychoanalysis
Meskipun jadul, menurut saya teori sigmun freud ini sangat relevan. Setiap kita berkomunikasi dan bertemu dengan orang maka akan muncul konflik internal di dalam batin kita yaitu:

1. Id
Gagasan untuk mempertahankan diri jadi dalam pikiran kita secara sadar atau tidak pertanyaan akan muncul seperti:

"Apakah saya aman berkomunikasi dengan orang ini?"

"Apakah jiwa saya terancam jika berkomunikasi?"

2. Ego
Pertanyaan yang muncul dalam benak kita selanjutnya adalah:

"Apakah berkomunikasi dengan orang ini rasional?"

"Apakah komunikasi ini bisa memberi saya ke untungan?"

3. Superego
Ini terkait dengan sosial dan moral contohnya:
"Apakah saya bisa bantu orang yang berkomunikasi dengan saya?"

Setiap kita berkomunikasi secara sadar atau tidak kita melakukan hal seperti itu. Makanya ketika bertemu pejabat, kiai, orang kaya (mungkin) dan sebagainya biasanya kita jadi canggung seyum-senyum sendiri seperti dipaksakan dengan gestur yang absurd seperti menunduk, mengusapkan kedua telapak tangan, dan sering mengeluarkan kata maaf sebelum berbicara.

"Ehhee ehhee begini, pak."

"Ehhee ehhee maaf, pak." Joni Karyawan swasta yang selalu curhat minta naik gaji.

Kenapa kata "maaf" dan "ehhee ehhee" suka muncul ketika berhadapan dengan pejabat, orang kaya, kiai dan sebagainya, karena secara naluriah kita tahu orang yang kita hadapi lebih tinggi jabatan, kekuasaan atau uangnya.

Tetapi di media sosial, kita kehilangan itu semua karena kita tidak merasa terancam, mau mem-bully sekejam apapun dan kepada siapapun tidak masalah walaupun sekaranh ada UU ITE.

Jadi ketika di media sosial kita hanya kenal hal-hal yang bersifat rasional dan moralis (EGO dan SuperEGO).

2. Jarak dan kepalsuan
Media sosial menawarkan kepada kita jarak dan privasi, kita bisa berbicara sebagai anonymous. Maka dari itu semua pertimbangan yang ada di atas itu tidak berlaku. Seperti di kaskus yang mulut, otak, dan jarinya enteng benar menghujat orang, kardun lah, cebong lah, kampret lah, goblok, dan sebagainya. 

Konsekuensinya kita tidak bisa di cerca secara moral juga fisik. Ada orang yang selalu ikut demo dan dia lantang sekali mengeluarkan caci maki tapi pada saat dia tertangkap di ajak ngobrol sama pak polisi mukanya berubah pucat pasi, air mata bercucuran kadang ingus keluar dari hidung dan telinganya, gigi menguning, juga ketika dia semangat mengumpat orang di sosial media tetapi pas disamperin hampir berak di celana.

3. Sudut pandang filsafat (mode mikir)
Dalam tradisi antropologi surga dan neraka itu tidak pernah ada. Katanya Surga itu muncul karena ada ketertindasan oleh kekuasaan, dia merasa baik dan benar dan dia melihat sendiri bahwa ada orang jahat tetapi dia berkuasa dan dia sadar tidak bisa melawan itu dunia nyata. 

Maka dia menggambarkan tuhan menciptakan surga untuk orang baik, tertindas dan benar juga neraka yang disediakan untuk orang yang berkuasa yang jahat.

Biasanya gagasan seperti ini di-endorse oleh atheist, intinya penghujat itu adalah orang yang sering dihujat dan gagal membela diri, akibatnya dia akan menghujat secara sporadis dan kesempatan balas dendam sekarang dibuka oleh media sosial. 

Jadi jika anda melihat atau mengalami penghujatan santai saja jangan marah, mungkin mereka di dunia aslinya/nyata jadi seperti itu karena kehidupannya menderita.
1. Stress
2. Tertekan
3. Tertindas
4. Tidak punya pekerjaan
5. Selalu kandas dalam asmara
6. Muka pecah-pecah
7. Telinga bernanah
8. "Kampungan"
9. Sering di-bully tapi gagal membalas
10. Tidak punya pengatahuan lain selain kardun, cebong, kampret, selangkangan, dan seterusnya.

Dalam kajian sosiologi maka yang harus ditolong itu bukan orang yang di-bully, tapi mereka yang mem-bully. Jika anda melihat orang seperti ini kasihanilah dia karena dia sangat menderita, dan jika yang suka mem-bully dan menghujat dengan kata kasar adalah anda sendiri, lihatlah cermin dan introspeksi diri maka anda akan tahu bahwa anda berada dalam genggaman kenistaan.

4. Naluri
Manusia itu senang kalau berada dalam kelompok besar. Misalkan ada 1 cebong bertemu 1 kampret atau 1 viking dan 1 the jak kemungkinan besar mereka tidak akan ribut. Tapi jika ada 1000 cebong dan 1 kampret mungkin si kampret akan meninggal / nangis / di bully, begitu pun sebaliknya.

Kenapa bisa seperti itu? Karena jika dia salam sebuah kelompok dia tidak merasa bertanggung jawab atas segala konsekuensinya tapi kelompoknya yang bertanggung jawab.

Wajah asli kita adalah kepalsuan, wajah asli kita tertutup oleh banyaknya pertimbangan. Satu lawan satu dia tidak berani tetapi ketika dalam mode anonim atau dalam kelompok akan muncul arogansi mayoritas. Seperti di indonesia saat ini dimana muslim sebagai mayoritas mengintimidasi agama-agama lain.

Saya tekankan ini menurut kajian psikogis bukan masalah agamanya.

5. Latah
Di media sosial jika ada orang yang di-bully maka orang lain akan merasa perlu untuk ikut mem-bully juga. Misal ada orang yang membuat konten kemudian ada penghujat di kolom komentar maka pikiran utama kita adalah kita ingin juga ikut menghujat. Jika kita masuk ke dalam jajaran orang sepert ini sebenarnya kita belum merdeka pikirannya.

Bukan hal buruk juga karena naluri kita memang demikian sudah sewajarnya, dan hal ini bukanlah hal yang bijak dan kita belum termasuk orang yang merdeka pikirannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun