Mohon tunggu...
Sid noise
Sid noise Mohon Tunggu... Buruh - Jangan Mau di Bungkam

Akun subsidi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Unboxing Pendidikan Indonesia

28 Juni 2020   05:12 Diperbarui: 28 Juni 2020   05:46 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth


Penulis tidak untuk menentang para penyelenggara pendidikan formal yang ada di indonesia, namun jika ada anggapan bahwa sekolah di buat untuk membuat anak bapak ibu sekalian menjadi pintar, maka kita harus kritis dengan pernyataan itu. Karena dalam prakteknya sekolah di indonesia menjadi salah satu penyebab atas merosot nya kualitas generasi muda di indonesia. Ini kritik dan PR bersama yang justru sekolah malah memperburuk dan menghancurkan generasi. Tulisan ini bukan anjuran untuk tidak bersekolah.

Kita awali dengan pernyataan George Bernard shaw "kadang sekolah itu lebih buruk dari penjara" menurut beliau di penjara tidak ada paksaan seperti membuat PR, untuk ber keilmuan atau mengasah sekil tertentu, atau di cekoki pengetahuan - pengetahuan yang pada akhirnya harus menghadapi test. Kemudian karena kebetulan penulis pernah mengajar dan paham perkataan bernard shaw ini, dimana upaya sekolah sudah melenceng dari cita - citanya.

Misalkan apa yang di ajarkan kepada anak SD mengenai sungai subsekuen dan konsekuen sejujurnya tidak relevan di usianya, bahkan tidak berguna di kemudian hari lantas penting nya apa. Mungkin orang - orang seperti president dan pejabat lain nya di tanyakan hal yang praktis, tekhnis faktual seperti itu tidak bisa menjawab juga seperti pertannyaan di atas atau misal pertanyaan tahun berapa pangeran diponegoro meninggal, tapi tetap saja mereka bisa menjadi presiden dan jadi pejabat.

Ada lagi contoh soal sin cos tan dalam matematika yang di indonesia sudah di ajarkan pada anak SD tapi di negara barat baru di ajarkan pada saat SMA atau Kuliah. Bukan karena penulis menolak pertanyaan - pertanyaan/ pelajaran di atas, melainkan penempatan pelajaran atau pertanyaan di atas seharus nya di fungsikan untuk melatih proses berfikir siswa, 

Agar siswa terbiasa berfikir secara terstruktur, terbiasa dengan kompetisi dan kerjasama, membuat siswa terbiasa dengan lingkungan yang penuh tantangan, bukan untuk di nilai. 

Di indonesia pertanyaan praktis ini malah di jadikan sebagai acuan, ada KKM nya, jika siswa tidak memenuhi KKM nya siswa tidak naik kelas kemudian ada remedial yang mengulang pertanyaan yang tidak relevan itu yang tujuan nya hanya agar siswa mampu menjawab ( orientasi konten ).

Saya yakin jika sekelas mentri pendidikan di ikut sertakan dengan ujian SD pasti tidak akan lulus, jika menyadari itu sejatinya soal - soal itu memang bukan untuk ujian, tujuan sekolah itu untuk mendidik anak berfikir kritis, kronologis, optimistis agar terbiasa dengan tantangan masa depan bukan berfikir konten nya.

Di eropa sendiri setelah keluar pernyataan "sekolah tidak lebih baik dari penjara", mereka menyadari itu dan mengubah system sekolah menjadi lebih ramah, manusiawi dan sesuai dengan perkembangan anak. Tapi tidak hanya di indonesia, di wilayah asia sekolah tidak di buat untuk mengembangkan potensi dan otentifikasi si anak, malah membuat bakat mereka hilang.

Pada akhirnya bibit seniman, olahraga, tidak tumbuh karena ketika potensi menggambar, bernyanyi, dan lain nya terputus saat di marahi oleh gurunya pada saat sd dan di jejali dengan dialog di papan tulis. Karena potensi dan otentifikasi tidak di fasilitasi dengan baik terjadap anak, maka kebanyakan kesuksesan yang di raih di indonesia beedasarkan keterpaksaan bukan karena otentik. 

Coba kita lihat apa yang di hasilkan olympiade matematika, fisika, kimia dan lain sebagai nya, meskipun indonesia mendapat peringkat paling tinggi seperti negara asia lain bersaing di top ten dengan china mengalahkan negara barat, tapi setelah sekolah ternyata indonesia tetap tidak maju, yang maju tetap negara yang olympiadenya di bawah indonesia. Karena kenapa? Kalau bukan keterpaksaan tadi itu.

Guru di sekolah formal sudah capek dengan RPP dengan silabus dan yang lain nya, banyak yang akhir nya ketika mengajar menjadi tidak fokus apalagi menaruh perhatian terhadap siswa. Menghakimi siswa dengan kecerdasan yang berbeda menggunakan status tanda nilai kemudian ada UN yang juga ada standart nilai. Singkatnya di indonesia sekolah menciptakan siswa agar mengerti satu hal tapi mereka tidak mengerti pinternya untuk apa.

Belum lagi yang terjadi di tingkat birokrasi yang membuat saya memutuskan berhenti mengajar di sekolah formal. Saya menyaksikan kenalan ketika mau pertama kali menjabat jadi kepala sekolah, kepala nya itu di penuhi dengan gagasan ideal yang baik, di kumpulkan orang yang sama idealis dengan nya dan dia juga punya banyak visi yang secara praktis bisa di terapkan dalam kegiatan sekolah. Sampai sejauh ini dia masih optimis dan yakin bisa mengubah tatanan pendidikan setidak nya dalam ruang lingkup yang bisa ia jangkau.

Namun belakangan dia sadar, di indonesia untuk menjadi seorang pembaharu, butuh faktor lain yaitu kelicikan. Atau dalam bahasa halus nya adalah fleksibilitas dalam berbohong. Ini di sadari ketika datang seorang pejabat ke sekolah nya datang dari dinas terkait dan mengatakan dia bisa mendapat kan bantuan untuk sekolah ini, berapapun nilai nya dengan catatan harus ada laporan nya. 

Setelah itu di tandatangani ternyata ada kelanjutan nya, si calo dana pendidikan itu mengatakan bahwa dana yang di turunkan hanya 60-70% saja, sisanya untuk dibagikan ke teman - teman yang lain. Ternyata dalam pengajuan itu ada birokrasi yang harus di tembus dengan cara saling membayar satu sama lain. Kemudian ini jadi dilema, jika dia menerima perjanjian ini maka dia korupsi, jika tidak, sekolah tidak dapat bantuan pendanaan.

Kemudian ada kasus datang seorang mantan guru honorer yamg pernah mengajar di sekolah nya dan meminta surat yang mencantumkan bahwa dia telah mengajar di sini selama 5 tahun, karena mau mengikuti sertifikasi di sekolah lain, dilema pun kembali mendatangi si kepala sekolah.

Pada masa UN (2009 kebawah) sekolah itu di pacu untuk meluluskan sebanyak - banyak nya harus mencapai nilai 100% kelulusan dimana nilai ini sangat fantastis, ada masa dimana yang tidak lulus 100% (baru baru ini) tingkat sma di indonesia hanya 24 sekolah. Korea dan jepang saja kalah seharusnya. Dan kenapa ini bisa terjadi? Karena ada konstribusi dinas terkait dengan pertimbangan bagaimana mungkin pelajaran yang sama selama 3 tahun berturut - turut di putuskan dalam waktu 3 hari, dinas terkait tidak tega juga kemudian muncul gagasan kebohongan berjama'ah meskipun berat tapi harus di lakukan kepala sekolah.

Pada akhirnya si kepala sekolah tidak bisa lagi mentolelir kebohongan yang terus dilakukan, si kepala sekolah pun mundur dari jabatan nya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun