Belum lagi yang terjadi di tingkat birokrasi yang membuat saya memutuskan berhenti mengajar di sekolah formal. Saya menyaksikan kenalan ketika mau pertama kali menjabat jadi kepala sekolah, kepala nya itu di penuhi dengan gagasan ideal yang baik, di kumpulkan orang yang sama idealis dengan nya dan dia juga punya banyak visi yang secara praktis bisa di terapkan dalam kegiatan sekolah. Sampai sejauh ini dia masih optimis dan yakin bisa mengubah tatanan pendidikan setidak nya dalam ruang lingkup yang bisa ia jangkau.
Namun belakangan dia sadar, di indonesia untuk menjadi seorang pembaharu, butuh faktor lain yaitu kelicikan. Atau dalam bahasa halus nya adalah fleksibilitas dalam berbohong. Ini di sadari ketika datang seorang pejabat ke sekolah nya datang dari dinas terkait dan mengatakan dia bisa mendapat kan bantuan untuk sekolah ini, berapapun nilai nya dengan catatan harus ada laporan nya.Â
Setelah itu di tandatangani ternyata ada kelanjutan nya, si calo dana pendidikan itu mengatakan bahwa dana yang di turunkan hanya 60-70% saja, sisanya untuk dibagikan ke teman - teman yang lain. Ternyata dalam pengajuan itu ada birokrasi yang harus di tembus dengan cara saling membayar satu sama lain. Kemudian ini jadi dilema, jika dia menerima perjanjian ini maka dia korupsi, jika tidak, sekolah tidak dapat bantuan pendanaan.
Kemudian ada kasus datang seorang mantan guru honorer yamg pernah mengajar di sekolah nya dan meminta surat yang mencantumkan bahwa dia telah mengajar di sini selama 5 tahun, karena mau mengikuti sertifikasi di sekolah lain, dilema pun kembali mendatangi si kepala sekolah.
Pada masa UN (2009 kebawah) sekolah itu di pacu untuk meluluskan sebanyak - banyak nya harus mencapai nilai 100% kelulusan dimana nilai ini sangat fantastis, ada masa dimana yang tidak lulus 100% (baru baru ini) tingkat sma di indonesia hanya 24 sekolah. Korea dan jepang saja kalah seharusnya. Dan kenapa ini bisa terjadi? Karena ada konstribusi dinas terkait dengan pertimbangan bagaimana mungkin pelajaran yang sama selama 3 tahun berturut - turut di putuskan dalam waktu 3 hari, dinas terkait tidak tega juga kemudian muncul gagasan kebohongan berjama'ah meskipun berat tapi harus di lakukan kepala sekolah.
Pada akhirnya si kepala sekolah tidak bisa lagi mentolelir kebohongan yang terus dilakukan, si kepala sekolah pun mundur dari jabatan nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H