Mohon tunggu...
Neli Agustin Lisdianti
Neli Agustin Lisdianti Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Masih perlu banyak belajar

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Review Buku "Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam

8 Maret 2020   20:26 Diperbarui: 8 Maret 2020   20:23 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tugas Review Buku

Judul Buku      : Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam

Penulis             : Drs. M. Zainuddin, MA

Penerbit           : Bayu Media Publishing

Tahun Terbit    : 2003

Manusia adalah makhluk Mukallaf, yang dibebani kewajiban dan tanggung jawab. Dengan akal pikiran manusia dapat menciptakan kreasi yang spektakuler berupa sains dan teknologi. Manusia juga bagian dari realitas cosmos yang menurut para ahli pikir disebut sebagai Al-Kain An-Natiq, "Makhluk yan berbicara" dan "Makhluk yang memiliki nilai luhur".

Betapa ilmu itu sangat penting artinya, sehingga hampir setiap saat manusia tidak pernah lepas dari apa yang disebut sebagai aktivitas mencari ilmu. Bagi seorang muslim, pengetahuan bukan merupakan tindakan atau pikiran yang terpencil dan abstrak, melainkan merupakan bagian yang paling dasar dari kemajuan dan pandangan dunianya (world-view). Oleh karena it tidak heran jika ilmu memiliki arti yang demikian sangat penting bagi kaum muslimin pada masa awalnya, sehingga tidak terhitung banyaknya pemikir muslim yang larut dalam mengungkapkan konsep ini. Konseptualisasi yang mereka lakukan mungkin paling nyata nampak dalam upaya mendefinisikan ilmu yang tiada habis-habisnya, dengan kepercayaan bahwa ilmu merupakan perwujudan "memahami tanda-tanda kekuasaan Tuhan".

Menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan bagi umat Islam memang sudah menjadi dasar dan landasan yang dituntutkan oleh ajaran Al-Qu'ran maupun Hadist. Bahkan semangat bepikir kritis untuk menemukan hakikat segala sesuatu merupakan peringatan dalam Al-Qur'an. Dalam konsep ajaran Islam, kecenderungan kepada wawasan yang kudus, atau prinsip ketuhanan adalah sesuatu yang mesti mendapat perhatian. Dan inilah prinsip Islam yaitu, bahwa Allah adalah Dzat yang wujud, Yang Maha Mengetahui dan segala sumber dari ilmu pengetahuan. Ini sangat berbeda dengan cara berpikir ala Barat yang sekuler. Karena sumber  pengetahuan adalah kesadaran mengenai Yang Kudus, maka tujuan ilmu pengetahuan adalah kesadaran mengenai Yang Kudus itu (Sayyed Hoesein Nasr, 1970:22 dan lihat C.A Qadie, 1989:5)

Pada bab II buku ini membahas sekilas tentang filsafat ilmu. Sebagaimana pendapat umum, bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang kebijaksanaan, prisip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir rasional-logis, mendalam dan bebas untuk mendapatkan kebenaran. Ilmu adalah bagian dari pengetahuan, demikian pula seni dan agama. Jadi dalam pengetahuan mencakup didalamnya ilmu, seni, dan agama. Jadi filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan  ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pengetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat-syarat serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan metodologi. Filsafat ilmu sebagai kelanjutan dari perkembangan filsafat pengetahuan, adalah juga merupakan cabang filsafat. Ilmu adalah objek sasarannya adalah ilmu, atau secara populer disebut dengan ilmu tentang ilmu.

Objek kajian filsafat ilmu ada tiga yaitu:

  • Ontologi, yang menjelaskan mengenai pertanyaa apa
  • Epistemologi, yang menjelaskan pertanyaan bagaimana
  • Aksiologi, yang menjelaskan pertanyaan untuk apa

Ontologi meliputi permasalahan apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan itu, yang terlepas dari pandnagan tentang apa dan bagaimana yang ada (being) itu. Paham idealism dan spiritualisme, materialism, dualism, pluralism, dan seterusnya merupakan paham ontologis yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai oleh ilmu itu (Koento Wibisono, 1988:7)

Ontologi keilmuan juga merupakan penafsiran tentang hakikat realitas dari objek ontologis keilmuan. Penafsiran metafisik keilmuwan harus didasarkan kepada karakteristik objek ontologis sebagaimana adanya dengan deduksi-deduksi yang dapat diverifikasi secara fisik. Ini berarti, secara metafisik imu terbebas dari nilai-nilai dogmatis.

Suatu pernyataan diterima sebagai premis dalam argumentasi ilmiah hanya setlah melalui pengkajian/penelitian berdasarkan epistemology keilmuwan. Untuk membuktikan kebenaran pernyataan tersebut maka langkah pertama adalah melakukan penelitian untuk menguji konsekuensi deduktifnya secara empiris, sejalan dengan apa yang Einstein katakan: "Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta pula, apapun teori yang disusunnya".

Selanjutnya adalah Epistemolgi. Objek kajian ini adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan (Katsoff, 1987:76). Secara umum pertanyaan epistemologi menyangkut dua macam, yakni epistemology kefilsafatan yang erat hubungannya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantic yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut (Katsoff, 1987:76)

Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pengetahuan. Peradaban mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yan akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan baaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan atas batas-batas validitas dari suatu yang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah (Koento Wibisono, 1988: 7).

Secara gari besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologis, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisisme), (fenomanilisme), intuisionisme, postivisme dan seterusnya.

Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indera dinomor duakan. Pemikiran para filsuf ini tidak lepas dari orientasi ini, rasio dan indera. Dari rasio kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealism atau spiritualisme dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialism.

Filsafat empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf Inggris: F. Bacon, T. Hobbes, J. Locke, C. Barkeley dan D. Hume ( Peurser, 1989:81). Kebenaran yang diperoleh dengan empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran diadapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda lalu ditarik kesimpulan.

Epistemologi meliputi tata cara dan sarana untuk pengetahuan. Peradaban mengenai pilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi atau sarana yang lain. Ditunjukkan bagaimana kelebihan dankelemahan suatu cara pendekatan ilmuan (Koento Wibisono, 1988:7)

Secara garis besar terdapat dua aliran pokok dalam epistemologis, yaitu rasionalisme dan empirisme, yang pada gilirannya kemudian muncul beberapa isme lain, misalnya: rasionalisme kritis (kritisme), (fenomanilisme), intuisionisme, postivisme, dan seterusnya. Rasionalisme adalah suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran akal atau ide, sementara peran indera dinomor duakan. Pemikiran para filsuf ini tidak lepas dari orientasi ini, rasio, dan indera. Dai rasio ini kemudian melahirkan rasionalisme yang berpijak pada dasar ontologik idealism atau spiritualisme dan dari indera lalu melahirkan empirisme yang berpijak pada dasar ontologik materialism.

Failsafat empirisme dikembangkan oleh filsuf-filsuf Inggris, seperti: F. Bacon, T. Hobbes, J. Locke, C. Barkeley, dan D. Hume (Peuser, 1989:81). Kebenaran yang diperoleh dengan empirisme bersifat korespondensi, hasil hubungan antara subjek dan objek melalui pengalaman, sehingga mudah dibuktikan dan diuji. Kebenaran didapat dari pengalaman melalui proses induktif, dari suatu benda kemudian ditarik kesimpulan.

Objek kajian yang terakhir adalah Aksiolagi. Ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam pendekatan aksiologis ini, Jujun (1986:6) menyebutkan, bahwa pada dasarnya ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan sebagai sarana untuk kemaslahatan manusia dalam hal ini maka ilmu menurutnya dapat dimanfaatkan sebgai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian atau keseimbangan alam.

Bab selanjutnya membahas tentang filsafat ilmu dalam Islam. Dalam merespon sains modern, ilmuan muslim memiliki perspektif yang berbeda-beda:

  • Disebut kelompok Bucaillan, kelompok yang menganggap bahwa sains bersifat universal dan neutral dan semua sains tersebut dapat diketemukan dalam Al-Qur'an.
  • Kelompok yang berusaha untuk memunculkan persemakmuran sains di negara-negara Islam, karena kelompok ini berpendapat bahwa ketika sains berada dalam masyarakat Islam, maka fungsinya akan termodifikasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan cita-cita Islam (lihat Sardar, 1988:167-171)
  • Kelompok yang ingin membangun pradigma baru (epistemologi) Islam, yaitu paradigma pengetahuan dan paradigma perilaku.

Upaya pencarian ilmu pengetahuan dalam Islam atau konsep Islam tentang ilmu itu bukan hal baru, melainkan sudah dilakukan oleh ulama-ulama sejak dahulu. Persoalan ini bermula dari perspektif mereka mengenai "apakah Al-Qur'an merupakan sumber ilmu pengetahuan atai hanya sebagai petunjuk agama saja?". Dari sini lantas muncul dua kelompok. Kelompok pertama misalnya seperti yang dikatakan Al-Ghazali . beliau mengatakan bahwa seluruh ilmu tercakup dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan Al-Qur'an adalah penjelasan sensi-esensi, sifat-sifat dan perbuatanNya. Al-Qur'an itu laksana lautan yang tak bertepi, dan jika sekiranya lautan itu menjadi tinta untuk menjelaskan kata-kata Tuhanku, niscaya lautan itu akan habis sebelum kata-kata Tuhan itu berakhir. (Al-Ghazali, 11329 H:9, 32)

Sebagaimana dituturkan oleh Al-Qardhawi (1989:35), bahwa menurut Islam cakupan ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu menurut Islam cakupan ilmu tidak hanya terbatas pada ilmu menurut pandangan Barat modern yang eksperimental, tetapi ia meliputi:

  • Aspek metafisika yang dibawa oleh wahyu yang mengungkap apa yang disebut dengan realitas (haqaig al-qubra) yang menjawab pertanyaan abadi darimana, kemana dan bagaimana. Dengan menjawab pertanyaan tersebut manusia tau landasan berpijaknya dan mengerti pula akan Tuhannya.
  • Aspek humaniora dan studi-studi yang berkaitan dengannya yang meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, hubungannya dengan dimensi ruang dan waktu, psikologi, ekonomi polititik dan seterusnya.
  • Aspek material yang bertebarab dijagat raya, atau ilmu yang dibangun berdasarkan observasi dan eksperimen, yaitu dengan uji coba di laboratorium. Dan ilmu inilah yang berkembang di Barat.

Seperti yang dijelaskan oleh Zubeir (dalam Fatimah ed., 1992: 104-107), bahwa terdapat empat sumber pengetahuan yang berbeda menurut tingkat dan kualitas kemampuannya, tetapi pada hakikatnya merupakan satu kesatuan, yaitu:

  • Pengetahuan Inderawi
  • Pengetahuan Naluri
  • Pengetahuan Rasio
  • Pengetahuan Intuitif/imajinatif
  • Pengetahuan Transenden/wahyu

Bab keempat dari bku ini membasah mengenai tradisi keilmuan Islam: Revitalisasi Ilmu dan Tanggung Jawab Ilmuwan Muslim. Gerakan keilmuan Islam dan pengaruhnya terhadap renaissance. Sebagaimana yang dicatat oleh Ahmad Amin (1969:141) bahwa pada awal timbulnya Islam, barulah tujuh belas orang suku Quraisy yang pandai baca-tulis.

Nabi juga menganjurkan para pengikutnya untuk belajar dan menulis. Aisyah, istriinya pun belajar membaca, anak angkatnya, Zaid bin Haritsah disuruh pula belajar tulisan Ibrani dan Suryani dan masih banyak lagi bukti yang lain. Demikianlah, gerakan melek huruf untuk pertama kalinya dilakukan Islam dalam rangka pengamalan ilmu pengetahuan. Jika pada mulanya aktivitas keilmuwan itu hanya telaah agama yang lebih khusus, maka pada periode menjadi berkembang secara menyeluruh dan dalam skop yang lebih luas.

Banyak ahli sejarah membuktikan, bahwa kemunduran umat Islam karena dua faktor, fsktor internal dan faktor eksternal. Faktor intenal adalah semakin memudarnya tali persaudaraan umat Islam dan munculnya fanatisme golongan, sedangkan faktor ekternalnya adalah karena kekalahan umat Islam dalam perang Salib yang berkepanjangan (Hitti hanya menyebutkan antara tahun 1144-1270) dan adanya serangan yang amat dahsyat dari bala tentara Mongol dibawah komando Jengins Khan dan cucunya Hulagu Khan.

Dengan pandangan dunianya sendiri, umat Islam memiliki dua tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, pertama untuk membuat dan menghasilkan dasar ilmunya sendiri, yang merupakan sebuah sistem untuk menghasilkan pengetahuan pribumi yang organis. Yang kedua, tanggung  moral terhadap umat manusia dan alam untuk menjamin bahwa keduanya berada pada kondisi kesejahteraan material dan spiritual yang terbaik.

Islamisasi ilmu pengetahuan yang dikehendaki Al-faruqi dkk, itu adalah: menuangkan kembali pengetahuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, yaitu memberikan definisi baru, mengatur data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan dan memproyeksikan kembali tujuan-tujuannya. Secara global ada lima program kerja yang dirumuskan Al-Faruqi, yaitu:

  • Penguasaan disiplin ilmu modern
  • Penguasaan khazanah Islam
  • Penentuan relevansi Islam bagi masing-masing bidang ilmu modern
  • Pencarian sintesa kreatif antar khazanah Islam dengan ilmu modern
  • Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah SWT

Ilmu-ilmu modern Barat pun masih bisa dipakai sepanjang relevan dengan nilai Islam. Oleh sebab itu yang harus ditinjau kembali adalah landasan falsafahnya, yang menyangkut tujuan dan kegunaanya. Disinilah tugas ilmuwan muslim untuk meluruskan dan mengarahkannya sesuai dengan tujuan nilai-nilai Islam. Baik konsep Sardar maupun Al-Faruqi sama-sama memiliki tujuan yang berbeda, yaitu: tauhid, khilafah, amanah, 'adalah, dan ishtishlah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun