Bismillah
Seandainya Dokter Mau Bertanya Kepada Sang Maha Penyembuh -
Sebuah Refleksi dan Koreksi
Â
Tulisan ini pertama kalinya saya tulis tanggal 15 Maret 2011. Saat itu saya baru beberapa bulan kehilangan seorang sahabat karena kanker. Enam bulan terakhir almarhumah dirawat di rumah sakit yang berlokasi di Jl. Gatot Subroto yang tidak jauh dari tempat saya tinggal saat itu. Hampir setiap hari saya datang menjenguk dia dan mengikuti hari demi hari kondisinya. Pengalaman itu memberikan saya kesan yang mendalam mengenai penderitaan seseorang dengan penyakit kanker berikut karakteristik kanker. Semua turut melengkapi pengamatan saya tentang kanker, terlebih ayah saya sendiri juga tutup usia setelah berjuang melawan kanker paru selama 9 bulan di tahun 2003 di usia 74 tahun.
Â
Sahabat saya telah menjalani takdirnya mengalami sakit. Saya menyaksikan perjuangannya bertempur melawan kanker selama tiga tahun sebelum akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Suatu pertempuran sengit yang dikomandoi seorang dokter spesialis kanker atau onkolog. Saya tidak bermaksud menggeneralisir profesi onkolog, namun apa yang saya amati dari keadaan teman saya itulah telah membawa saya pada perenungan yang saya sampaikan saat ini. Saya hanya ingin mengajak kita semua untuk memahami hakikat penyakit ditinjau dari aspek hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Â
Saya menyaksikan dengan penuh keprihatinan bagaimana dia harus menjalani terapi demi terapi, mulai dari kemoterapi, radioterapi berpuluh kali dilanjutkan dengan operasi. Semuanya tidak juga memberikan hasil yang diharapkan, bahkan yang mengejutkan lagi adalah di sisa-sisa energi dan kekuatan tubuhnya yang sudah tidak seberapa itu lagi, dia masih disarankan untuk menjalani serangkaian kemoterapi dan radioterapi sampai dia mengalami moonface.
Â
Melihat keadaannya, saya sering merenung, sebenarnya apa tujuan semua tindakan itu? Sekedar mempertahankan hidup tanpa kehidupan? Saya katakan hidup tanpa kehidupan karena terapi itu ibaratnya suatu pertempuran sengit yang menyakitkan dan tidak berkesudahan melawan diri sendiri yang lebih banyak berakhir dengan kekalahan yang mengenaskan.
Â
Kehidupan seperti apakah yang akan menanti sang pasien jikapun ia sembuh mengingat hari-harinya mesti didukung obat mengatasi nyeri yang tidak lain dari morfin. Saya sering menyaksikan betapa teman saya untuk menggaruk kepalanya sendiri pun kadang tangan itu cuma berhenti di udara, dia sudah tertidur. Begitu juga ketika dia menelepon saya untuk sekedar ngobrol, tiba-tiba saya ngomong sendiri, dia sudah tertidur. Saya sering bertanya dalam hati saat itu, jika sahabat saya survived dari kanker, akankah dia selamat dari ketergantungan narkoba.
Dalam satu kesempatan, saya tanyakan kepada almarhumah apa itu kemoterapi. Dari penjelasannya saya menyimpulkan bahwa kemoterapi itu adalah tindakan memasukkan 'racun' ke dalam tubuh kita dengan harapan sel kanker yang ada memakan umpan kemoterapi tersebut sehingga diharapkan dapat melumpuhkan sel kanker itu sendiri. Tapi kenyataannya, harapan tinggal harapan, skenario ideal tersebut tidak berjalan semulus yang diharapkan bahkan lebih banyak menghasilkan mudharat. Bahkan sel kanker pun ada yang demikian cerdas, mereka memilih diam saat umpan kemoterapi lewat di hadapan mereka. Sedangkan sel yang normal lah yang malah jadi korban kemo.
Saat itu saya belum kenal yang namanya gaya hidup ketofastosis, tapi saya sudah menyadari bahwa cara pengobatan yang menghancurkan sel-sel sehat sang pasien bukanlah cara yang tepat. Bukankah Allah berfirman bahwa Dia menciptakan manusia dalam keseimbangan.
Saya yakin dengan firman Allah tersebut. Suatu metode penyembuhan yang sejalan dengan prinsip keseimbangan boleh jadi metode yang benar, sedangkan metode yang merusak sel tubuh manusia secara umum sudah jelas menyelisihi keseimbangan yang Allah firmankan. Siapa lebih tahu mengenai ciptaannya, onkolog atau Sang Pencipta.
Allah Sang Maha Penyembuh pun berfirman, tidak ada penyakit yang tidak ada obatnya. Artinya bahkan kanker sekalipun pasti ada obatnya dan seyogyanya seiring dengan keseimbangan. Jika ada penyakit yang dikatakan tidak ada obatnya, itu berarti manusia belum mampu menemukan obatnya. Dengan pemahaman saya sekarang mengenai prinsip bio kimia tubuh, ilmu fisiologi, saya menjadi yakin bahwa tidak ada penyakit yang tidak dapat sembuh jika kita mengikuti prinsip keseimbangan Allah. Tampaknya, kita sakit pun karena ulah kita sendiri yang telah mengganggu keseimbangan itu sendiri.
Â
Ada beberapa point mendasar yang mengganjal pikiran saya saat itu.
Katanya sel kanker ada di setiap orang tapi kenapa tidak semua orang menderita atau meninggal karena sakit kanker.
Benarkah, kanker belum ada obatnya, kok bisa sementara Allah menjanjikan setiap penyakit pasti ada obatnya.
Bagaimana mungkin kita menuangkan racun ke dalam tubuh kita, darah kita, dan berharap tindakan itu dapat menyembuhkan. Bagaimana kita bisa memisahkan sel yang baik agar tidak ikut teracuni sementara kita tidak punya kemampuan melokalisir lokasi kanker. Saya hampir yakin kalau sebenarnya tidak seorang onkolog pun mengetahui dimana letak akar sel kanker berada. Jika sel itu ditemukan di payudara, jadi disebut kanker payudara lah ia. Jika di Paru (seperti yang dialami oleh almarhum ayah saya) maka ia menjadi kanker paru, demikian seterusnya.
Â
Apakah setiap kanker itu harus diburu, dikejar, dihajar hingga babak belur? Jika awalnya dia itu bagaikan tamu di rumah kita, kenapa kita harus repot-repot menghajar agar tamu itu pergi. Allah tidak menyukai kita berbuat kerusakan, tindakan memasukkan racun ke dalam tubuh tidak bisa dipungkiri merupakan tindakan merusak, mengganggu keseimbangan.
Allah memberikan kita akal dan Allah memberikan kita petunjuk, masih ada cara lain yang diridhoi Allah untuk dilakukan dalam rangka upaya kita mengobati diri. Kenapa kita tidak memilih cara damai dalam arti membiarkan sementara keberadaan sel kanker tersebut namun secara perlahan mengembalikan kekuatan tubuh kita sehingga pada suatu titik tubuh kita sendiri yang akan menyingkirkan sel kanker itu, tanpa merusak diri sendiri.
Â
Saya membuat beberapa catatan mengenai kanker ini setelah mulai mengerti tentang prinsip keseimbangan fisiologi tubuh manusia. Ijinkan saya untuk menguraikan satu per satu.
Ihwal Munculnya Kanker
Saya sungguh berharap seorang Onkolog mau sedikit memahami ihwal munculnya kanker. Konon sel kanker ada di setiap manusia, namun kenapa tidak semua manusia menderita atau meninggal karena sakit kanker? Pertanyaan yang menarik bukan.
Â
Umumnya Kanker muncul pada saat terjadi suatu peristiwa yang mengguncang hidup seseorang, mungkin karena sedih, marah, kecewa atau marah yang berlebihan. Jadi kanker sangat erat hubungannya dengan kondisi psikologis seseorang, bukan semata masalah medis. Dengan demikian sangat klop dengan system stress manusia. Jika benar demikian, tentunya akan bermanfaat jika kalangan dokter tidak hanya menangani penyakit kanker pasien melalui pendekatan medis semata dan meninggalkan aspek psikologisnya.
Dulu saya beranggapan manusia itu punya satu tombol rahasia yang jika tersentuh, tubuh kita akan melakukan hitung mundur menuju kehancuran. Tombol itu bisa teraktivasi jika manusia ybs mengalami suatu goncangan psikologis yang berlarut-larut seperti, terlalu marah, kecewa, sedih, benci, atau pendek kata tidak bisa menerima takdir Allah.
Setelah kenal KF saya jadi paham, apa tombol yang saya duga itu. Ketika seseorang mengalami stress baik psikologis maupun fisiologis, maka tubuh akan merespon dalam dua cara yaitu perintah pelepasan hormon kortisol dan aktivasi autonomic nerves system (aktivasi system saraf) sehingga terjadi mekanisme gas dan rem tubuh.