Bismillah
Sewaktu suami ponakan saya di luar kota sempat diwajibkan tes swab sebelum melakukan perjalanan dinas dan dinyatakan  terpapar C19, mereka menjalani karantina mandiri. Dari mereka saya mendapat cerita bagaimana tanggapan tetangga mereka sewaktu tahu di lingkungan mereka ada yang terpapar Covid19.
Reaksi yang diterima beragam. Ada yang mengirim makanan untuk mencukupi kebutuhan makan mereka, ada yang mengirim kue-kue, dll tapi yang aneh adalah ada juga yang mencibir dan menghujat. Sambil bercanda kami menyimpulkan C19 sudah membantu membuka tabir wajah sesungguhnya dari seseorang. Mana teman yang sesungguhnya dan mana teman yang bohongan.
Saat baru dinyatakan terpapar mereka langsung melakukan metabolic conditioning sekitar 5 hari sebelum jadwal tes swab yang ke2 bagi suami dan yang ke1 bagi istri. Alhamdulillah hasilnya, meski diwarnai keheranan yang sangat dari petugas gugus covid terkait, semua negatif untuk swab 2 dan 3 hingga akhirnya mereka selesai karantina mandiri.
Saya ingin menyoroti sikap masyarakat terhadap mereka yang di'vonis' covid19. Saya nggak ngerti darimana reaksi negatif itu berasal. Â Kenapa setiap ada kasus C19 sebagian orang di lingkungan yang sama langsung ambil ancang-ancang melockdown ybs.Â
Perilaku ini malah menambah beban stres dari mereka yang langsung terpapar. Jangan salahkan sikap keluarga penderita yang cenderung menutupi karena mereka tidak mau diperlakukan seolah aib dan hina.
Kok bisa kita menyikapi orang yang terkena musibah (kadang seorang OTG yang sehat tetiba kedapatan tes swab dan entah bagaimana dinyatakan positif) dengan cara yang tidak beradab. Terpapar C19 bisa seolah mendapat aib, bahkan kesannya lebih buruk daripada seseorang divonis HIV/AIDs. Apa-apaan ini.
Apakah kita mau bilang orang yang terpapar C19 yang dia pun tidak ingin terpapar sebagai orang-orang yang kehilangan martabatnya sehingga layak diperlakukan tidak adil. Apakah ini buntut dari pemberitaan tentang kedigdayaan C19 yang cenderung mengglorifikasi C19? Orang takut diketahui status kesehatannya karena takut sanksi dari masyarakat. Terus masyarakat lebih suka dibohongi gitu? Nggak mau juga kan.
Kenapa kita tidak bisa bersikap adil dan proporsional. Pahami dulu cara penularan C19, adakah di sana terkait dengan kegiatan yang melanggar kaidah susila, apakah akibat perbuatan melanggar hukum manusia dan Allah? Nggak ada kan.
Apakah seseorang terkena C19 karena nyuntik narkoba? Apakah karena berhubungan homoseksual seperti yang terjadi pada penderita Aids. Apakah akibat minum-minum alkohol sebagaimana penderita penyakit hati? Besar kemungkinan jawabannya tidak. Lantas darimana asal stigmatisasi aib orang yang terpapar C19.
Orang bisa terpapar C19 saat memegang suatu benda yang terpapar virus C19 dan terbawa masuk lewat salah satu gerbang mukosa kita. Saat imun kita lemah, kita terinfeksi. Sebetulnya biasa saja.
100 orang terpapar C19 tapi tidak 100 orang mati. 100 orang terpapar HIV/AIDs berapa orang yang sembuh? Mungkin tidak ada.
C19 menyerang sel ephitelia paru sedangkan HIV menyerang CD4, jenderal dari sistem imun dalam adaptive immune system (sistem imun lumpuh).
Dengan pembenahan sistem imun melalui metabolic conditioning pembajakan sel ephitelia oleh virus C19 itu bisa diatasi dan dibasmi oleh NK cell kita sendiri atas perintah CD4.
Lalu C19 diperlakukan sebagai aib dan virus yang justru mematikan malah dinafikan keseramannya. Dimana keadilan itu?
Jika saya membandingkan C19 dengan virus HIV bukan dimaksudkan untuk melecehkan penderita HIV. Tujuan saya adalah untuk mengingatkan jangan kita bersikap tidak adil kepada mereka yang mengalami infeksi C19.Â
Hidup mereka sudah semakin susah dengan sakit itu, nggak perlu lagi tambahan beban dari masyarakat yang merasa seolah satu keluarga itu ancaman bagi nyawa tetangga. Kita diperintahkan untuk bersikap adil karena adil itu lebih dekat ke taqwa.
Makanya pola pikirnya harus diubah. Setiap orang bertanggung jawab atas kesehatannya masing-masing. Bukan seperti sekarang, menuntut orang lain sehat bugar agar diri mereka bebas menikmati hidup tanpa peduli sehat. Kok kesehatan sendiri minta disubsidi orang lain.
Kalau kita berkomorbid, jangan marah kepada OTG, tinggal perbaiki diri dengan metabolic conditioning. Kalau nggak mau, ya tanggung sendiri risikonya bukan malah menghujat orang lain atau membawa sebangsa dan senegara dilockdown.
Kalau setiap orang bertanggung jawab atas kesehatan dia dan keluarganya sendiri, maka cluster herd immunity dalam arti positif yang hakiki dapat tercapai (bukan pengertian herd immunity yang dikaitkan dengan vaksin yang dipahami selama ini).
Daripada curiga tetangga terus-terusan mendingan beresin PR masing-masing, metabolic conditioning aja, sudah belom.
-nd
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H