Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Covid 19, Sniper dalam Kancah Pertempuran Herd Immunity

14 Mei 2020   08:32 Diperbarui: 14 Mei 2020   09:17 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi: bbc.co.uk/pinterest

Apa yang dikuatirkan masyarakat dari herd immunity adalah terpaparnya kelompok lansia dan orang-orang yang memiliki metabolic syndrom (MetS) dan obesitas (ketiganya kita sebut High Risk Group) yang berakhir dengan fatalitas.

Di tengah ketiadaan vaksin, bayangan herd immunity membuat kita gamang. Saya membayangkan sebuah model perang kota dan kita berjalan di antara gedung pencakar langit yang dipenuhi snipers/penembak jitu.  SARS-CoV 2  bagaikan snipers yang siap membidik dari tempatnya bersembunyi.

Ilustrasi diatas tidak dimaksudkan untuk menambah ketakutan kita semua. Saya justru ingin kita melihat permasalahan seputar kondisi paska pelonggaran PSBB secara rasional agar kita bersiap. Mari kita lihat akar masalah yang sesungguhnya dengan pikiran yang jernih dan hati yang tenang.

Perspektif yang umum muncul di masyarakat adalah:
1. Virus SARS-CoV 2  itu pembunuh no. 1;
2. Virus SARS-CoV 2  hanya bisa dikalahkan oleh vaksin lewat imunisasi;
3. Herd immunity hanya mungkin sukses dengan imunisasi

Catatan: Vaksin SARS-CoV 2  belum tersedia hingga saat ini.

Mari kita lihat satu per satu.

1. Benarkah SARS-CoV 2  itu pembunuh no. 1?
Diperlukan kejujuran dari pihak yang memiliki data kematian yang diduga korban SARS-CoV 2. Data kasus fatalitas di negara-negara lain menyebutkan profil risiko dari setiap kasus kematian. Diketahui rata-rata fatalitas terjadi pada pasien yang memiliki riwayat penyakit metabolik atau termasuk dalam High Risk Group. Penyakit yang sudah ada itu disebut komorbiditas.

Faktanya banyak kok orang-orang yang terkena SARS-CoV 2  dan mereka sembuh. Artinya fatalitas SARS-CoV 2  bergantung pada kondisi pasien. Jika dia memiliki komorbiditas, maka risikonya menjadi bertambah. Jika tidak memiliki komordibiditas, peluangnya untuk sembuh lumayan besar.

Dalam hal demikian, langkah yang tepat adalah mengidentifikasi masyarakat yang tergolong dalam High Risk Group dan memberikan protokol untuk memperbaiki metabolisme mereka. 

Seiring perbaikan metabolisme, maka sistem imun mereka pun akan lebih responsive. Harus dipahami, kecepatan dan ketepatan respon imun amat sangat mempengaruhi kesuksesan tubuh melawan infeksi Covid19.

Mengingat belum meratanya pemahaman di kalangan masyarakat, Pemerintah harus mengedukasi masyarakat  cara meningkatkan sistem imun melalui perbaikan metabolisme. 

Jadi bisa kita simpulkan bahwa SARS-CoV 2 adalah virus yang bisa dilawan oleh sistem imun kita sepanjang kondisi metabolisme kita bagus. Jika tidak bagus, maka PRnya adalah bagaimana cara kita memperbaiki metabolisme.

Dalam kondisi normal, sistem imun kita sanggup mendeteksi dan menghancurkan setiap pathogen yang menyerang. Tetapi harus kita akui pada High Risk Group atau pada orang-orang yang tidak menyadari kondisi kesehatan metabolik mereka, bisa terjadi respon imun yang abnormal. 

Jika tidak cepat dideteksi, bisa jadi penurunan pertahanan tubuh akan terjadi amat cepat seiring semakin berkurangnya jumlah limfosit hingga < 15% saat terjadi infeksi SARS-CoV 2.

Fatalitas dapat dihindari jika kita bisa mempertahankan agar jumlah limfosit tidak drop dibawah 15% sehingga bisa memberi kemampuan regulasi ke sistem immune adaptive terhadap respon immune sebelumnya. Caranya bisa dipelajari lebih lanjut dalam buku "Panduan Optimalisasi Kondisi Metabolik Untuk Mencegah Fatalitas Covid19." (Disusun oleh tim Tenaga Kesehatan KFLS yang terdiri dari 7 dokter dan 3 orang nakes).

2. Virus SARS-CoV 2  hanya bisa dikalahkan oleh vaksin lewat imunisasi. Pernyataan itu bisa benar, tapi tidak selalu benar. Artinya, benar vaksin dapat menjadi shortcut sistem kekebalan tubuh dalam berkenalan dengan antigen namun tidak benar jika proses pengenalan antigen oleh sel imun manusia hanya dapat terjadi melalui vaksin.

Saya kutipkan definisi vaksin yang ada di wikipedia:

"Vaksin adalah bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan terhadap suatu penyakit. Pemberian vaksin (imunisasi) dilakukan untuk mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi penyebab penyakit - penyakit tertentu. Vaksin biasanya mengandung agen yang menyerupai mikroorganisme penyebab penyakit dan sering dibuat dari mikrob yang dilemahkan atau mati, dari toksinnya, atau dari salah satu protein permukaannya. Agen merangsang sistem imun untuk mengenali agen sebagai ancaman, menghancurkannya, dan untuk lebih mengenali dan menghancurkan mikroorganisme yang terkait dengan agen yang mungkin ditemui di masa depan. Vaksin dapat bersifat profilaksis (misalnya untuk mencegah atau memperbaiki efek infeksi di masa depan oleh patogen alami atau "liar") atau terapeutik (misalnya vaksin terhadap kanker).[1][2][3][4]

Vaksin yang telah dimasukkan ke dalam tubuh dapat merangsang bangkitnya sistem imun dan tahap akhirnya adalah dibentuknya antibodi dan sel-sel memori. Proses ini melibatkan sistem imun bawaan dan sistem imun adaptif. Antigen yang masuk akan ditangkap oleh sel dendritik dan mengalami pengolahan antigen. Selanjutnya terjadi reaksi berantai yang menghasilkan sel pembantu dan sel memori. Sel pembantu dalam hal ini menginduksi aktivasi sel B dalam menghasilkan antibodi.[12]" [https://id.m.wikipedia.org/wiki/Vaksin]

Jelas vaksin melibatkan sistem imun kita baik innate immune system  dan adaptive immune system. Artinya vaksin dimaksudkan memberikan sample antigen kepada Dendritic cell yang bertugas menjadi penghubung antara innate immune system dan adaptive immune system.

Cara kerja alamiah innate immune system dan adaptive immune system sangat komprehensif dan canggih, 100% karunia Allah dan tidak ada campur tangan manusia di dalamnya.

Vaksin/imunisasi adalah tindakan intervensi dari luar untuk memasukkan antigen agar dikenali dan disimpan dalam memori sel limfosit BCell (humoral immune system) dan TCell  (adaptive immune system).

Beda innate immune system dan adaptive immune system adalah innate immune system adalah sistem imun non spesifik sedang adaptive immune system adalah sistem imun yang amat spesifik. 

Adaptive immune system baru akan memiliki bank data antigen tertentu setiap kali sukses berkonfrontasi dengan antigen tertentu. Profil antigen musuh terekam dengan baik dan akan digunakan setiap kali antigen yang muncul pas profilnya. 

Jadi semakin sering terpapar seseorang pada bakteri atau virus pathogen, semakin kuat adaptive immune systemnya. Sebaliknya, semakin terisolasi seseorang atau semakin steril lingkungan seseorang, semakin rentan sistem imun adaptivenya (seolah miskin pengalaman)

Jika dikatakan bahwa virus Covid19 adalah virus baru yang belum ada antibodinya dalam sebagian besar manusia,  pernyataan itu sah-sah saja karena tidak semua manusia pernah terpapar virus Covid19. Tetapi kurang tepat jika dikondisikan seakan ketiadaan rekaman virus Covid19 di sistem imun humoral kita dipastikan jadi kartu mati bagi mereka.yang baru terpapar di kali pertama.

Sama halnya dengan bayi yang baru lahir innate immune systemnya sudah berfungsi namun album hall of fame of criminalsnya yang disimpan di humoral immune system sebagai bagian dari adaptive immune system masih kosong karena bayi itu belum pernah terpapar suatu virus tertentu.

Proses innate immune system mengidentifikasi keberadaan antigen SARS-CoV 2 dan melaporkannya kepada perwira di kesatuan adaptive immune system, dalam hal ini dikomandoi oleh CD4 (T-Helper Cell).

Dimana CD4 akan berkomunikasi dengan humoral immune system (Th2) seperti B-Cell dan juga dengan cellular mediated immune system (Th1) seperti CD8 (T-Killer Cell).

B-Cell akan bertugas untuk membuat antibodi dan juga membentuk memori terhadap antigen yang dilaporkan, sementara T-Killer Cell akan bertugas utk mengeliminasi sel-sel ditubuh yang mengalami infeksi dari virus SARS CoV2 ini.

Kemampuan BCell untuk mengeluarkan antibodi terjadi apabila sudah pernah ada data antigen tersebut sebelumnya.

Adaptive immune system otomatis tidak menyimpan memori virus SARS CoV2 sepanjang tubuh kita belum pernah terpapar serangan virus SARS CoV2. Tetapi, begitu terjadi serangan virus berikut segala mutasinya, innate immune system dan adaptive immune system plus humoral immune system akan mengatasi virus SARS CoV2 sesuai protokol tersebut di atas secara alamiah.

Kapan protokol itu gagal? 

Dalam hal terjadi kondisi abnormal yang menyebabkan respon imun manusia tidak cukup cepat dalam mengatasi serangan. Jadi dapat dikatakan bahwa bukan virus yang membunuh tetapi respon imun yang abnormal lah yang membunuh seseorang. Umumnya kegagalan respon imun terjadi pada kondisi metabolisme glukosa yang berlebih.

Lihat penjelasan di no. 1 tentang penyebab fatalitas dan upaya pencegahannya.

Kesimpulan:
Kita harus mau memahami faktor penyebab abnormalitas sistem imun (termasuk auto imun). Justru faktor penyebab lemahmya sistem imun itulah yang harus diatasi, bukan malah bergantung semata pada jalan pintas berupa vaksin. Sejauh ini fakta menunjukkan buruknya metabolisme mempengaruhi kesehatan sel imun manusia.

3. Herd immunity hanya mungkin sukses dengan imunisasi.
Mari kita lihat pengertian Herd Immunity:

"Konsep herd immunity didasarkan pada pandangan bahwa herd immunity terbentuk jika mayoritas populasi, biasanya 70%-80% menjadi kebal terhadap penyakit. Ketika kekebalan ini terbentuk penyebaran virus corona bukan lagi ancaman.

Kekebalan ini terbentuk setelah seseorang terinfeksi dan sembuh atau melalui vaksinasi. Dalam kondisi sekarang ini muncul anggapan untuk membentuk herd immunity dengan membiarkan virus ini menyebar pada sebagian besar populasi. Apalagi hingga sekarang belum ditemukan vaksin corona." [sumber]

Pertanyaannya benarkah herd immunity hanya bisa sukses jika dilakukan dengan imunisasi? Perlu diingat hingga hari ini belum ada vaksin Covid19 yang tersedia.

Ketimbang menjawab pertanyaan itu secara hitam putih, saya lebih tertarik mengajak para pembaca untuk melihatnya dari perspektif yang berbeda.

Sebetulnya apa yang menjadi dasar ketakutan masyarakat dan sebagian pakar epidemiologi terkait herd immunity? Paparan langsung secara masif ditengah ketiadaan vaksin.

Saya pribadi cenderung melihatnya sebagai sebuah tantangan yang mau tidak mau harus kita hadapi.  

Namun demikian saya amat sangat memahami kekuatiran masyarakat akan prospek kehilangan anggota keluarga yang dicintai.

Saat ini kondisi yang dihadapi pemerintah bagai makan buah simalakama. Jika memilih lanjut PSBB, ekonomi ambruk seambruk-ambruknya dan harus diakui tampaknya kita tidak memiliki ketahanan ekonomi dan pangan; sebaliknya jika memilih melonggarkan atau menghentikan PSBB, rakyat merasa didorong ke dalam skenario herd immunity yang brutal.

Bukan bermaksud mengesampingkan hati nurani, saya mencoba berpikir rasional. Tanpa pelonggaran PSBB, bisnis tidak bisa bergerak. Tanpa bisnis, kekuatan ekonomi tidak dapat dibangun, tanpa ekonomi tidak ada ketahanan pangan, akhirnya akan menambah kompleksitas dimensi masalah epidemi ini.

Kita harus akui bisnis harus berjalan tapi tidak boleh jadi mengorbankan masyarakat sebagai tumbal.  

Apa solusinya?

Ada cara yang bisa ditempuh pemerintah yang terkait dengan pembahasan no. 1 dan 2 di atas yaitu siapkan masyarakat untuk menyongsong kondisi herd immunity tanpa imunisasi. Sebagai gantinya memberikan edukasi luas mengenai cara perbaikan metabolisme tubuh. Memberi pencerahan kepada masyarakat hubungan antara sindrom metabolik dengan sistem kekebalan tubuh cara mengoptimalisasinya sebagaimana  diuraikan dalam buku Panduan Optimalisasi Kondisi Metabolik Untuk Mencegah Fatalitas Covid19."

Jadi penting untuk memperbaiki metabolisme ketimbang menerapkan herd immunity dengan serta merta.

Coba bayangkan sejenak peta peperangan melawan SARS-CoV 2 ini, para sniper itu bisa saja menembak kita kapan pun dan dari arah manapun, namun tembakannya tidak bisa membunuh kita, akankah kita tetap merasa takut pada ancaman mereka?

Masukkan High Risk Group ke dalam sistem monitoring dan prioritas agar dapat segera diambil tindakan yang tepat dan cepat. Edukasi masyarakat di luar High Risk Group mengenai tata cara  berinteraksi dengan anggota keluarga yang High Risk Group agar mencegah penularan jika mereka dianggap sebagai carrier.

Semoga tulisan ini bisa memberikan tambahan perspektif bagi para pembaca dalam menghadapi dinamika kondisi pandemi SARS-CoV 2.

-nela dusan
(praktisi KFLS dan bukan dokter/nakes)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun