Mohon tunggu...
Nela Dusan
Nela Dusan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Praktisi KFLS dan Founder/Owner Katering Keto

mantan lawyer, pengarang, penerjemah tersumpah; penyuka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PPKB dan Kompetisi Hidup

24 Maret 2019   07:34 Diperbarui: 24 Maret 2019   08:08 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Flickr.com

Bismillah.

Ketika saya tahu anak saya tidak berhasil masuk universitas yang dia inginkan melalui jalur PPKB, saya merasa sangat sedih. Saya sedih bukan karena anak saya gagal lolos PPKB tetapi saya sedih membayangkan kesedihannya saat dia tahu telah gagal lolos PPKB. Karena saya tahu bagaimana perjuangan dia untuk meraih impiannya, itu lah empati. Terlepas dari qadarullah, transformasinya yang terjadi dalam beberapa semester belakangan tampaknya belum cukup panjang untuk mengantarkan dirinya ke kampus impian melalui program PPKB apalagi SMPTN.

Bagi saya kesuksesan seseorang tidak mesti mutlak dinilai dari hasil akhir suatu proses. Tidak bisa dipandang hanya dalam pilihan sempit: sukses atau gagal kah dia saat mencapai goalnya.  

Boleh jadi saat ini dia gagal mencapai goalnya, namun sesungguhnya dia telah sukses mentransformasi dirinya menjadi yang sekarang yang jauh lebih baik. Itu lah kesuksesan yang hakiki bagi saya.

Sebaiknya kita tidak membandingkan atau mengukur anak kita dengan anak orang lain yang sukses mendapatkan tempat di universitas impian melalui jalur PPKB atau SNMPTN tanpa memperhitungkan usahanya dan usaha kita sendiri di dalam penilaian tersebut. Sudah maksimal kah?

Anak kita adalah buah dari hasil pendidikan kita. Cara dia menyikapi kegagalan boleh jadi cerminan sikap kita ketika menghadapi kegagalan. Kemarin ini dia belajar bahwa kesuksesan SNMPTN atau PPKB adalah buah dari ketekunan seseorang melewati proses yang panjang. Ketekunan yang melewati endurance yang diuji melalui waktu.

Jika dia merasa sedih telah gagal dengan usaha keras dia belakangan ini, bayangkan kesedihan teman-temannya yang juga gagal padahal telah berjuang selama 5 semester full selama ini. Saya mengingatkan dia akan hal itu untuk membuatnya melihat kekecewaan dari perspektif yang berbeda. Tidak melulu nasib kita harus dinilai dari kacamata kegagalan diri kita secara mutlak sampai-sampai tidak lagi menyisakan rasa syukur atau empati kepada orang lain.

Saya ungkapkan bahwa saya menilai proses transformasi dirinya sehingga menjadi yang seperti sekarang saja sudah merupakan capaian.

Transformasi diri menjadi lebih baik dari kemarin merupakan indikator prestasi yang sejati. Bagaimana bisa mencapai sebuah cita-cita yang tinggi ketika performance belum mencapai batas maksimal. Insyaa Allah transformasi yang terus berlangsung akan membuahkan hasil pada pada saatnya. Masih ada jalur lain yang tersedia untuk meraih impiannya.

Saya belajar dari kesedihan anak saya. Saya menangkap kegalauannya, kekuatirannya akan masa depannya. Merasakan tekanan dalam jiwanya yang sedang merasa jatuh. Sesungguhnya dia tengah mengalami ujian dalam hidupnya. Cara dia menghadapi kegagalan yang satu ini akan memberikan dia pengalaman hidup tambahan. Menjadikan mentalnya lebih kuat, insyaa Allah.

Adalah tugas kita sebagai orang tua untuk membimbing anak kita agar sukses memetik hikmah dari proses yang dilaluinya, bukan malah menambah lebar luka di hatinya. Bukan pula malah membandingkan kesuksesan anak orang lain dengan kegagalan anak kita, membuatnya makin terpuruk.

Tugas kita membuatnya melihat bahwa kesuksesan adalah membuat diri kita hari ini lebih baik daripada diri kita yang kemarin.
Usah fokus pada keberhasilan orang lain karena hal itu akan membuat dirinya merasa gagal dan mempengaruhi semangatnya.
Setiap orang berpacu dilintasan mereka masing-masing.

Saya contohkan atlit lari, renang dan golf. Mereka bukan memenangkan kompetisi dengan tujuan utama mengalahkan orang lain, tapi mereka  berkompetisi melawan diri mereka sendiri dari versi yang kemarin. Golf adalah olahraga yang mencerminkan bagaimana hasil terbaik seseorang akan dibandingkan hasil terbaik orang lain, bukan diperoleh melalui pencurian point orang lain melalui teknik-teknik sebagaimana lazimnya dalam olah raga kompetisi permainan seperti tenis, bulutangkis, dan lain sebagainya.

Mari kita pahami bahwa merupakan bagian dari peran kita sebagai orang tua untuk menjadi pelatih dari atlit yang bernama anak. Anak adalah atlit yang berkompetisi sepanjang masa hidupnya. Akan banyak kesuksesan atau kegagalan yang bakal ditemuinya. Maka ajarilah anak kita dengan nilai esensial yang akan dia perlukan dalam menghadapi setiap babak final di tiap fase kompetisi dalam hidupnya. Sebagaimana kita juga.

Jika kita ingin ajarkan nilai hidup yang baik kepada anak kita maka kita harus memulainya dari diri sendiri. Belajar menempatkan kesedihan kita di bawah kesedihan anak kita, kebahagiaan kita setelah kebahagiaan anak kita.

Ingatlah jika kita sedih, bagaimana dengan dia. Bukan malah sebaliknya, memaki atau menambah tekanan baginya.

Kita sedih akan kegagalan dia, maka kita yang menghiburnya, bukan malah menuntut dihibur oleh anak kita.

Saya kira itu peran sejati kita sebagai orang tua.
-nd

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun