Reformasi sebagai penanda Indonesia mulai menunjukkan identitas negara besar yang demokratis. Membuka kran demokrasi pasca rezim otoritarian di masa 32 tahun orde baru (orba) menumbuh suburkan ruang-ruang publik menuangkan segala aspirasinya. Semakin banyak orang-orang  leluasan yang mulai tampil berpendapat.
Kesadaran masyarakat mulai mengisi ruang-ruang publik mulai melek politik, ikut berpolitik, masuk ke dalam sistem politik, bahkan membabi buta mengkritik setiap perjalanan rezim pemerintahan reformasi. Tentu tidak mudah sebagai negara berkembang untuk membangun pilar demokrasi pasca rejim otoriritarian.
Setiap individu tentu tidak mau melewatkan momentum situasi nasional yang sedang berkembang. Tak sedikit masyarakat aktif terlibat mengontrol kebijakan pemerintah. Jika ada kebijakan yang tidak disukai maka publik akan berbondong-bondong menyuarakan aspirasinya.
Mengacak-acak rezim melalui aksi demonstrasi turun ke jalan dan kritis bersuara melalui media sosial. Sampai sejauh ini, media sosial menjadi alternatif yang paling efektif untuk mengkritik rezim. Ya, begitulah demokrasi bangsa kita tumbuh saat ini.
Namun, tidak sedikit juga dari rakyat yang menjadi tersangka dalam penggunaan media sosial. Berbagai macam kasus kebanyakan terjerat pasal karet Undang-Undang ITE (UU ITE). Seharusnya rezim tetap konsisten dalam menjaga kran demokrasi tersebut. Memberikan keleluasan kepada setiap warga untuk menuangkan ekspresi melalui aksi, tulisan, serta komitmen dalam menjaga kemerdekaan pers.
Sementara itu, di lain sisi selalu saja akan ada yang berdalih menyatakan bahwa negara kita adalah negara hukum. Maka, hukum sebagai panglima harus selalu ditegakkan. Lantas, apakah dalam sebuah negara demokratis tidak mampu menguatkan hukum sebagai pondasi bernegara? Ya, memang saat ini kita butuh sistem politik dan demokrasi yang lebih matang lagi.
Celakanya, dewasa ini pun demokrasi kita diaduk-aduk dengan berkembangnya isu agama yang dijadikan sebagai komoditas politik. Agama dan ayat-ayat kitab selalu menjadi pembicaraan yang seksi dan memiliki nilai jual tertinggi dalam panggung politik praktis. Bahkan, tidak sedikit kelompok yang menumbalkan nilai-nilai sosial, budaya dan etika yang sudah ada sejak negara ini merdeka.
Apakah agama itu candu ? Ya, seperti kata seorang filsuf Karl Marx menyebutkan bahwa agama adalah candu. Tingkat kecanduan melebihi yang tidak pada tempatnya itulah yang pada akhirnya dijadikan sebagai gerakan umat. Gerakan untuk membela Tuhan sebagai dalih mobilisasi massa namun ujung-ujungnya mengadakan deklarasi dukungan kepada si A dan Si B.
Padahal, kata Presiden RI ke-4, Gus Dur menyebutkan bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Berbeda dengan cuaca politik Indonesia saat ini, demi kepentingan kelompok dalam sisi ekonomi maka Tuhan mereka bela untuk menyukseskan ambisi kekuasaan
Lalu, gerakan tersebut menjadi semakin massif, militan dan tersistematis. Hubungan dengan patron klien semakin kuat. Kemudian ujungnya adalah berbisik-bisik dibalik layar tentang "Siapa dapat apa dan kebagian apa". Selalu saja skenario akhirnya begitu.
Gerakan-gerakan semacam ini tiada lain adalah mereka yang memang memiliki power didalam tubuh kelompok keagaamaan tersebut. Ya, tentunya mereka adalah pemuka Agama/tokoh agama.
Tentu saja polemik ini tidak akan pernah usai jika rasionalitas masyarakat belum tersadarkan. Orderan semacam ini akan selalu muncul dalam setiap lima tahunnya di pesta demokrasi (pemilu). Pintu politik itu luas dan selalu terbuka bagi siapa saja.
Dalam sisi ekonomi tentu siapapun bisa ambil bagian. Dan juga akan ada saja fatsun politik yang patut diperhatikan dalam proses itu. Tidak melulu soal selera namun lebih demi memuaskan isi perut apapun dijabani.
Tokoh agama dan kaum cendekiawanlah yang seharusnya memberikan pikiran politik mencerahkan bagi orang-orang yang memiliki niat terlibat dalam sistem politik. Tentu politik tidak selalu kotor. Hanya oknum segelintir kelompoklah yang membuat kotor dan tentu tergantung pemahaman dari setiap individu.
Ketika gerakan umat ini dijadikan sebagai gerakan politik praktis maka berbeda urusannya. Karena, mereka yang sadar dan tidak suka tentu akan memiliki cara pandang yang berbeda. Alih-alih, anti-klimaksnya adalah kemunculan pikiran untuk percaya dengan Tuhan dan tidak untuk agama atau Ideologi Aknostik. Ya, karena Agama tersebut dijadikan sebagai komoditas politik.
Lalu bagaimana? Tentu kita butuh tokoh agama yang bersih dari masa lalunya, memiliki pikiran-pikiran yang segar, memberikan pendidikan politik yang baik untuk umatnya dan bukan untuk memanfaatkan gerakan umat tertentu. Spiritualitas dibutuhkan bangsa kita, namun tidak melupakan esensi kemanusiaannya.
Kemudian negara pun tidak sesuka hati untuk mengintervensi agama. Kehadiran negara untuk melindungi agama. Secara harafiahnya, Negara hadir untuk menjaga dan melindungi hak-hak setiap pemeluk agama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, kita membutuhkan kedewasaan dalam memaknai kembali etos fundamental Negara Pancasila.
Oleh : Ilwan Februwarto Nehe
Manager Media dan Publikasi Indonesia Controling Community dan Ketua DPP Bidang Politik Gerakan Pemuda Kepulauan Nias
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H