Mohon tunggu...
Neha Rofiq
Neha Rofiq Mohon Tunggu... Guru - Guru Madrasah

Pendidikan adalah duniaku

Selanjutnya

Tutup

Book

Review Buku Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara (Aguk Irawan MN)

20 Juli 2023   18:51 Diperbarui: 20 Juli 2023   18:54 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sistematis, penulis memaparkan bahwa etika pesantren tidak lahir begitu saja tanpa melalui perkembangan suatu apapun. Proses inkulturasi menjadi jalan bagi kemunculan etika yang menjadi bagian kecil dari peradaban pesantren. Lantaran peradaban pesantren muncul melewati dialektika panjang antara sesuatu yang baru dari Islam dan sesuatu yang lama dari peradaban hindu-Buddha, maka etika pesantren menjadi lebih kompleks.

Perjumpaan dengan aneka kebudayaan pada masa lalu  memberikan pengaruh kuat pada kehidupan pesantren baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan sekaligus kelihaian para ulama, kiai, dan wali dalam merajut bingkai Islami melalui proses inkulturasi adalah kata kunci kesuksesan dalam proses mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat. Pendekatan kebudayaan melalui serangkaian pembudayaan jadi jalan memberikan kemudahan penyebaran Islam di Nusantara.

Kontak dengan budaya yang mengakar dari berbagai nusantara membuat budaya pesantren mengandung nilai-nilai etika  yang beragam dan bersifat universal. Etika merupaka identitas karakteristik budaya pesantren. Perilaku hasil inkulturasi dan kemudian menjadi dasar etika masih dapat diamati di beberapa pesantren di Indonesia. Misalnya, amalan shalawat, ijasah, mematung atau rukuk, cium tangan, jabat tangan, sowan, boyongan, dan sistem ma'had (pondok).

Anggapan ihwal barokah seorang guru, dan ijazah terhadap ilmu atau mantra yang diajarkan sudah menjadi manifes dalam realitas kehidupan masyarakat Nusantara sejak masa lampau. Kepercayaan ini menjadi tradisi yang diwarisan secara turun-temurun. Ditelusuri sesuai aspek kesejarahan, pada masa agama Hindu di Jawa dan Bali mayoritas masyarakat menganut ajaran Saiva-Siddharta. Aliran ini sangat esoteris, seperti yakin akan kemampuan guru kepada murid, hal-hal yang musti dilakukan murid sebelum menerima ilmu, dan pemberian ijazah keilmuan yang telah diperoleh seorang murid. (hlm. 85)

Penghormatan kepada guru terjadi pada sebelum dan seusai menempuh pendidikan. Laku hormat terhadap guru itu mewujud dalam sikap ta'dzim dan tawadhu'. Do'a dan restu dari seorang guru menjadi harapan sekaligus jalan bagi kemudahan dalam mencari ilmu. Ada pula Sowan kepada Kiai sebelum belajar dan boyongan pasca belajar sejatinya telah membudaya pada tradisi masyarakat Hindu-Budha. Praktik sowan, atau mengahadap seorang yang menguasai ilmu pengetahuan untuk belajar, minta petuah, pendapat, serta pandangan atau hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan telah dilakukan masyarakat sejak berabad-abad silam. Kenyataan akan keberadaan praktik sowan dan boyongan ini terdapat dalam berita Tiongkok peninggalan abad ke VII dan ditemukan di Jawa Tengah, yakni prasasti  Tuk Mas dan prasasti Sojomerto. (hlm. 100)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun