Penulis        : Aguk Irawan MN
Penerbit       : Pustaka IIMaN
Cetakan       : I, Desember 2018
Tebal         : 462 halaman. 14 x 21 cm
ISBN Â Â Â Â Â Â Â Â : 9786028648295
Islam tidak hanya mencakup doktrin dan teologi, tetapi juga peradaban, budaya dan peradaban. Buktinya diutusnya Rasulullah Muhammad SAW ke muka bumi ini sebagai Lil Alamin Rahmat untuk memperbaiki akhlak manusia. Buku ini menyajikan bukti antropologis bagaimana Islam Rahmatan Lil Alamin melebur dengan budaya lokal, menghasilkan Islam Nusantara.
Kebudayaan lokal dalam hal ini adalah pesantren selalu memiliki daya tarik yang memikat untuk dijadikan objek studi penelitian. Buku ini membeberkan seluk beluk tentang etika pesantren. Mulai dari segi historis, praktik, dan peran serta hubungan sebagai kultur sebuah pesantren. Pelbagai sumber referensi ditelusuri kemudian digali demi sebuah bukti kesejarahan yang otentik. Referensi berupa naskah kuno dan kitab tarikh menjadi rujukan dasar dan penting. Kehadiran buku ini pada akhirnya melengkapi khasanah ilmu pengetahuan terkait etika pesantren. Pun mengisi kekosongan atas jawaban dari mana proses keberlangsungan etika di pesantren itu lahir.
Penulis buku ini, Dr. KH. Aguk Irawan MN adalah seorang tokoh agama yang lahir di Lamongan pada  1 April 1979. Ia merupakan seorang penulis sekaligus sastrawan.  Namanya dikenal melalui karya-karyanya dalam bentuk fiksi maupun nonfiksi yang dipublikasikan di banyak media massa antara lain harian Kompas, Jawa Pos dan NU Online. Selain menulis ia menerjemahkan banyak buku agama dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia.
Menyelesaikan pendidikan sarjana Jurusan Aqidah-Filsafat, di Al-Azhar Kairo, Mesir atas beasiswa Majelis A`la Islamiyah tahun 2003. Kemudian melanjutkan Pasca Sarjana di STAI Al-Aqidah dan Doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta lulus tahun 2017. Saat ini, ia aktif sebagai pengajar di STAI Al-Kamal, STAI Al-Mushin, MA dan Ma'had Aly Ali Maksum, STAIS Pandanaran dan STIPRAM Yogyakarta.
Prestasi dan Penghargaan yang pernah ia raih antara lain Bakhtiar Ali Award, 2001 (KBRI-Terobosan), Penulis Fiksi Terbaik 2007 (Grafindo Khazanah Ilmu), Pesantren Award 2016 (Pesantren Bina Insan Mulia) dan novel karyanya "Titip Rindu Ke Tanah Suci" Â masuk dalam nominasi novel islami terbaik versi islamic book fair jakarta.
Secara sistematis, penulis memaparkan bahwa etika pesantren tidak lahir begitu saja tanpa melalui perkembangan suatu apapun. Proses inkulturasi menjadi jalan bagi kemunculan etika yang menjadi bagian kecil dari peradaban pesantren. Lantaran peradaban pesantren muncul melewati dialektika panjang antara sesuatu yang baru dari Islam dan sesuatu yang lama dari peradaban hindu-Buddha, maka etika pesantren menjadi lebih kompleks.
Perjumpaan dengan aneka kebudayaan pada masa lalu  memberikan pengaruh kuat pada kehidupan pesantren baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemampuan sekaligus kelihaian para ulama, kiai, dan wali dalam merajut bingkai Islami melalui proses inkulturasi adalah kata kunci kesuksesan dalam proses mengajarkan Islam kepada masyarakat setempat. Pendekatan kebudayaan melalui serangkaian pembudayaan jadi jalan memberikan kemudahan penyebaran Islam di Nusantara.
Kontak dengan budaya yang mengakar dari berbagai nusantara membuat budaya pesantren mengandung nilai-nilai etika  yang beragam dan bersifat universal. Etika merupaka identitas karakteristik budaya pesantren. Perilaku hasil inkulturasi dan kemudian menjadi dasar etika masih dapat diamati di beberapa pesantren di Indonesia. Misalnya, amalan shalawat, ijasah, mematung atau rukuk, cium tangan, jabat tangan, sowan, boyongan, dan sistem ma'had (pondok).
Anggapan ihwal barokah seorang guru, dan ijazah terhadap ilmu atau mantra yang diajarkan sudah menjadi manifes dalam realitas kehidupan masyarakat Nusantara sejak masa lampau. Kepercayaan ini menjadi tradisi yang diwarisan secara turun-temurun. Ditelusuri sesuai aspek kesejarahan, pada masa agama Hindu di Jawa dan Bali mayoritas masyarakat menganut ajaran Saiva-Siddharta. Aliran ini sangat esoteris, seperti yakin akan kemampuan guru kepada murid, hal-hal yang musti dilakukan murid sebelum menerima ilmu, dan pemberian ijazah keilmuan yang telah diperoleh seorang murid. (hlm. 85)
Penghormatan kepada guru terjadi pada sebelum dan seusai menempuh pendidikan. Laku hormat terhadap guru itu mewujud dalam sikap ta'dzim dan tawadhu'. Do'a dan restu dari seorang guru menjadi harapan sekaligus jalan bagi kemudahan dalam mencari ilmu. Ada pula Sowan kepada Kiai sebelum belajar dan boyongan pasca belajar sejatinya telah membudaya pada tradisi masyarakat Hindu-Budha. Praktik sowan, atau mengahadap seorang yang menguasai ilmu pengetahuan untuk belajar, minta petuah, pendapat, serta pandangan atau hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan telah dilakukan masyarakat sejak berabad-abad silam. Kenyataan akan keberadaan praktik sowan dan boyongan ini terdapat dalam berita Tiongkok peninggalan abad ke VII dan ditemukan di Jawa Tengah, yakni prasasti  Tuk Mas dan prasasti Sojomerto. (hlm. 100)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H