"Saya bersaksi di sini kalau Insya Allah saya menerima amanah rakyat Indonesia, saya akan bikin Indonesia berdiri di atas kaki kita sendiri. Kita tidak akan impor apa-apa Saudara-saudara sekalian!"--Prabowo Subianto
Hati siapa yang tak tergugah dengan janji kampanye yang berapi-api. Hati siapa yang tak terenyuh mendengar janji akan Indonesia yang mampu berdikari. Tanpa impor apapun!
Emosi publik terbawa. Janji agar Indonesia menjadi negara yang self-sustainable. Rakyat merasa sosok inilah yang bisa membawa Indonesia menjadi negara yang adidaya. Negara nomor satu di dunia. Mengapa saya bisa sebut sebagai negara nomor wahid? Karena tak ada satupun negara di dunia yang tidak impor.
Di sinilah seorang Prabowo menjadi sosok demagog. Peran yang mudah didapat dari negara yang menganut sistem demokrasi. Karena sistem demokrasi adalah sistem yang selalu terombang ambing.Â
Di satu sisi keinginan kelompok A terpenuhi, kelompok yang lainnya justru merasa tak diperhatikan. Sebagai contoh, impor pangan diperlukan untuk menjaga stabilitas harga agar seluruh rakyat bisa tercukupi kebutuhan pangannya. Tapi di sisi lain, ada pihak yang merasa tersisihkan. Misalnya petani yang menganggap impor pangan menyebabkan hasil bumi mereka tak laku di pasaran.
Celah itulah yang demagog ambil. Celah itulah yang Prabowo gunakan untuk menunggangi angin. Di saat rakyat kebingungan, mereka membutuhkan sosok "Ksatria berkuda" yang mampu menggiring mereka menuju cahaya terang benderang. Namun, pada akhirnya rakyat seakan menjadi laron yang tertarik pada cahaya. Sekali berarti, sesudah itu mati. Jatuh berguguran dalam waktu semalam.
Faktanya, tak ada negara yang tak impor. Sebuah negara tidak sendiri. Ia tergabung lewat gugusan negeri-negeri lain di Bumi ini. Ada hubungan bilateral, ada keinginan rakyat yang harus dipenuhi.Â
Misalkan negara kita benar memiliki kelimpahan produk pangan, tentu kita harus menjualnya ke negara lain agar ia tak terbuang dan perekonomian Indonesia terus berkembang.Â
Negara lain tentu inginkan pertukaran produk lewat perdagangan itu. Istilah sederhananya barter. Jadilah kita tetap impor. Kita ambil contoh lainnya lewat penggemar kuliner Timur Tengah. Beras untuk nasi kebuli berbeda dengan beras lokal. Sehingga harus impor beras dari Arab untuk memenuhi permintaan dalam negeri. Sekali lagi, tetap impor.
Belakangan, Prabowo sedikit memperbaiki pernyataannya. Ia menyatakan pihaknya akan menghentikan impor-impor, hanya apabila ada kekurangan saja kita impor. Tapi, pernyataan ini tetap mustahil. Karena perdagangan antar negara pasti ada ekspor-impor. Bahkan, Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa memaparkan Indonesia masih ketergantungan impor terhadap 21 komoditas subsektor pangan.
"Jika ada siapa pun calon presiden mewacanakan akan setop impor, akan swasembada, itu bohong besar." -- Dwi Andreas Santosa