Mohon tunggu...
Negara Baru
Negara Baru Mohon Tunggu... Freelancer - Tentang Saya
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Memberi Sudut Pandang Baru Negara Kita

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Swasta Ogah Inisiatif Social Distancing Imbauan Presiden

16 Maret 2020   21:14 Diperbarui: 17 Maret 2020   14:13 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mal tetap ramai meski wabah corona. Kompas.com


Virus corona (COVID-19) telah menjadi pandemik. Berbagai cara tengah dilakukan oleh dunia guna menekan penyebaran virus ini. Salah satu cara dipaparkan melalui video dengan judul 'Bagaimana Wabah COVID-19 Bisa Berakhir' yang menyebar di media sosial. Bahkan turut disebarkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD.

Sumber : https://twitter.com/mohmahfudmd/status/1239082978845667329

Video berdurasi 2 menit 19 detik itu menyadur dari laporan The Washington Post tertanggal 14 Maret 2020 oleh Harry Stevens.

Lewat artikelnya Harry memaparkan bagaimana bisa kurva penyebaran virus corona terus meningkat secara tajam dan menjelaskan metode agar kurva tersebut menjadi landai. Dengan kata lain ia memaparkan cara untuk memperlambat peneyebaran virus sekaligus memperkecil jumlah penderita.

Ia mengumpamakan penyakit yang menyebar dengan sebutan simulitis. Apabila orang yang terkena simulitis bergerak bebas dalam suatu populasi, maka penyakit akan menyebar dengan cepat dan kurva penyebaran akan meningkat secara drastis.

Kurva akan terus meningkat hingga mencapai satu titik jenuh, kemudian akan menurun seiring dengan banyaknya orang yang sembuh dari simulitis. Kondisi ini diberi istilah Free for All.

Penyebaran simulitis tanpa efek samping tentu tidak akan membuat kita khawatir. Tapi bagaimana jika simulitis diganti dengan COVID-19. Peningkatan jumlah penderita corona yang drastis, tentu tidak seriring dengan fasilitas kesehatan.

Banyak orang akan terkena corona, namun saking banyaknya, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit tidak dapat menampung atau menanganinya. Pada akhirnya banyak orang akan meninggal dunia.

Lantas bagaimana agar kurva tersebut tidak terlalu curam? Ada beberapa cara yang dapat dilakukan. Salah satunya dilakukan pemerintah China dengan contoh kasus Provinsi Hubei (tempat asal mula penyebaran COVID-19). Yakni dengan metode Force Quarantine alias Karantina Paksa alias Lockdown. Force Quarantine melarang seluruh aktivitas publik, kecuali beberapa orang seperti untuk ke Rumah Sakit maupun logistik.

Dalam prakteknya, Force Quarantine adalah suatu hal yang mustahil, dan tidak efektif. Sebab tetap saja akan ada ruang atau kebocoran yang terjadi. Profesor Hukum Kesehatan Global Universitas Georgetown, Lawrence O. Gostin mengatakan Lockdown seperti ini sangat jarang dan tidak efektif. Lagipula Force Quarantine telah melanggar prinsip kebebasan manusia dengan cara yang diktator bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun